Petani Tetap Miskin walaupun Produksi Pangan Naik

  • Iris Gera
Pemerintah giat menggenjot produksi pangan agar terus naik, namun nasib petani ternyata tak banyak berubah.

Banyak petani di Indonesia sulit membeli beras hasil panennya sendiri.

Peneliti pertanian dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Endang Sukara mengungkapkan hal tersebut, sembari mengatakan keprihatinannya terhadap kondisi petani yang semakin susah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Ia menilai hal tersebut sungguh ironis, karena di sisi lain pemerintah bersemangat untuk meningkatkan produksi pangan.

Menurut catatan Serikat Petani Indonesia (SPI) pendapatan petani rata-rata per hari hanyalah sekitar 5000 rupiah. Padahal dalam catatan Kementerian Pertanian, setiap tahun sekitar 25 juta rumah tangga petani di Indonesia memproduksi pangan seperti padi, jagung kedelai dan ubi dengan nilai sekitar 258 trilyun rupiah.

Menurut catatan SPI, petani di Indonesia hanya berpenghasilan rata-rata 5000 rupiah per hari.

Tidak selamanya pembangunan di sektor pertanian itu menguntungkan bagi lingkungan dan juga bagi petaninya sendiri, sekarang rantainya itu baru rantai pasar. Petani seringkali dihadapkan kepada masalah harus menjual hasil panennya itu dengan harga sangat murah, dan ketika mau menanam ia juga harus pinjam uang ke sana kemari,” ujar Endang.

Selain itu, Endang Sukara berpendapat bahwa pemerintah kurang membimbing para petani agar lebih mampu melakukan inovasi. Dan ini, menurut Endang, menjadi penyebab mengapa hasil para petani monoton dan kurang diminati.

Endang memberi contoh petani sayur. “Ketika panen, ia terpaksa menjual sayurnya sangat murah, (padahal) coba kalau sayurnya itu diolah sedemikian rupa di level petani, entah itu menjadi jus sayur atau apa (pun), yang jelas ada nilai-nilai tambah disitu,” jelas Endang.

Bila mata rantai diperpendek, petani akan mendapat lebih banyak keuntungan dari hasil panen mereka.

Kebijakan pemerintah untuk melakukan impor berbagai komoditas pangan menurut Endang Sukara juga merupakan langkah yang salah. Impor menurutnya hanya menguntungkan para importir dan sangat merugikan para petani karena hasil tanamannya terganggu oleh keberadaan komoditas impor.

“Kalau di Amerika, antara impor dengan grower (jadi) satu, jadi impor itu harusnya menurun sepanjang masa. Kemudian pertumbuhan produksi dalam negeri harus naik terus-menerus sehingga pada akhirnya di satu titik kita bisa menjadi eksportir,” kata Endang.

Sebelumnya, Menteri Pertanian Suswono berpendapat bahwa kesejahteraan petani sangat berkaitan dengan daya beli masyarakat. Kemiskinan menyebakan daya beli masyarakat lemah sehingga komoditas para petani hanya bisa dikuasasi para tengkulak. Padahal, jika komoditas hasil petani bisa langsung menguasai pasar masyarakat, ini akan jauh lebih baik dan tidak banyak mata rantai yang akhirnya membuat petani hanya mendapatkan untung sangat kecil. “Persoalannya ketika kita bicara daya beli, kita bicara masalah miskin. (Jadi) kita akan berusaha supaya meningkatkan daya beli masyarakat,” ujar Menteri Suswono.