Warga Wadas, Purworejo, Jawa Tengah, bentrok dengan petugas kepolisian pada Jumat (23/4), terkait penolakan mereka atas rencana pemerintah untuk membangun bendungan di wilayah tersebut. Peristiwa ini menjadi bagian dari konflik, yang berpotensi membendung cita-cita Jokowi membangun bendungan tertinggi di Indonesia.
Sejumlah warga Wadas ditangkap polisi usai bentrokan. Menurut tokoh warga setempat, Insin Sutrisno, pada Jumat (23/4) malam mereka dibebaskan dan bisa meninggalkan Polres Purworejo. Penolakan itu, kata Insin, didasari ketidakrelaan mereka jika kebun tempat menggantungkan kehidupan sebagai petani, dirusak demi bendungan. Durian, kemukus, kopi dan cengkeh adalah sebagian tanaman yang mereka budidayakan.
“Kita takut hancur desanya, karena didemamit (dinamit-red), di Amdal itu ada 5 ribu ton lebih. Kekuatannya kan menghancurkan lingkungan, perumahan dan lainnya,” kata Insin.
Kepada VOA, Insin bercerita bahwa sejak 2018 ketika sosialisasi pertama dilakukan, mereka sudah menolak. Pertemuan demi pertemuan diadakan oleh pemerintah, tetapi mereka selalu meninggalkan ruang. Penolakan juga dilakukan secara tertulis, tetapi menurut Insin, pemerintah tidak pernah memperhatikan aspirasi warga. Hari Jumat (23/4), ketika bentrokan terjadi, pemerintah sebenarnya juga akan kembali mengadakan sosialisasi. Namun, rencana itu gagal karena warga menghadang petugas.
“Itu lahan dari nenek moyang dan akan kita turunkan ke anak cucu kita, kalau ditambang anak cucu mau makan apa, karena 99 persen dari kami petani semua,” tambang Insin.
Wadas adalah sebuah desa yang letaknya sekitar 10 kilometer dari Bendungan Bener. Dari kawasan inilah, Kemen PUPR berencana menambang batu andesit untuk kebutuhan tanggul bendungan. Perlawanan ini telah berlangsung tiga tahun, dan bentrok pada hari Jumat (23/4) menjadi salah satu puncak konflik tersebut.
Perlawanan Para Petani
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta mendampingi petani Wadas memperjuangkan hak-haknya. Yogi Dzul Fadhli dari lembaga ini membenarkan, pada Jum’at (23/4), tim BBWS Serayu Opak dibantu aparat kepolisian dan TNI, datang ke Wadas untuk melakukan sosialisasi dan pematokan lahan. Sebelum waktu ibadah Jumat datang, rombongan memaksa masuk ke desa.
“Saat itu warga sedang melakuka aksi mujahadahan, dan itu sudah sangat sering dilakukan di sana karena menjadi kebiasaan warga. Yang berbeda, kali ini berbarengan dengan rencana sosialisasi dan pematokan tanah di sana,” ujar Yogi dalam sesi tanya jawab bersama media di Yogyakarta, Sabtu (24/4)
Ada 11 orang yang ditangkap polisi pada Jumat (23/4) siang, yaitu satu advokat LBH Yogya, satu asisten advokat, lima warga dan sisanya aktivis pendamping. Mereka dibawa ke Polsek Bener, lalu pindah ke Polres Purworejo menjelang sore, dan menjalani identifikasi serta dimintai keterangan. Seluruhnya dibebaskan pada Sabtu (24/4) sekitar pukul 00.30 dini hari.
Banyak pihak menyesalkan kekerasan yang dilakukan aparat kepolisian. Tri Wahyu KH dari Indonesian Court Monitoring melalui VOA mengecam pendekatan kekerasan brutal dan vulgar tersebut, apalagi dilakukan dalam situasi pandemi dan bulan ramadan. Dia menyebut, langkah itu melanggar konstitusi, UU HAM 39 tahun 1999, Perpres 59 tahun 2017 tentang Pembangunan Berkelanjutan dan Perkap HAM Polri.
“Dari kiriman video teman-teman Wadas, aparat saat melakukan kekerasan sampai keluar kata-kata ‘Anda melawan negara, Anda melawan negara.’ Jadi pelabelan warga, pihak yang bersolidaritas menjaga lingkungan itu dianggap musuh negara. Ini sangat berbahaya sebenarnya,” ujar Tri Wahyu.
Beberapa tahun lalu, kasus serupa terjadi di lokasi pembangunan Yogyakarta International Airport (YIA). Petani setempat melawan, tetapi pemerintah bersikeras sehingga terjadi konflik selama berbulan-bulan. Menggunakan UU No 2 tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum, pemerintah “merebut” tanah petani dengan menitipkan uang ke pengadilan. Menurut Tri Wahyu, praktik ini maladministratif, karena meniadakan kerelaan petani sebagai pemilik tanah.
Ada potensi bagi petani untuk melawan keputusan negara melalui pengadilan. Namun, lanjut Tri Wahyu, kemungkinan untuk menang relatif kecil. Di sisi lain, pemerintah daerah dan politisi lokal cenderung mengamini proyek pusat, karena tidak mau disebut sebagai penghambat pembangunan.
“Kami minta Komnas HAM RI dan Ombudsman RI Perwakilan Jawa Tengah turun langsung ke Wadas, Purworejo, terkait kasus pelanggaran HAM, juga kasus maladministrasi yang terjadi,” lanjut Wahyu.
Sementara Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty International, menyebut tindakan kepolisian melakukan penangkapan sewenang-wenang disertai kekerasan dan gas air mata adalah bentuk penggunaan kekuatan yang eksesif.
“Cara ini mencederai usaha masyarakat yang memperjuangkan keadilan sosial dan ekologis. Pola ini mulai berulang dalam pengamanan proyek-proyek pembangunan infrastruktur dan kegiatan industri ekstraktif. Pemerintah harus melindungi kehidupan warga dan menghentikan cara-cara pemolisian yang tidak demokratis,” kata Usman Hamid.
Sedangkan peneliti keadilan sosial di lembaga Public Virtue, Naufal Rofi Indriansyah, dalam rilisnya mengatakan pemerintah wajib mengusut tuntas peran aparat dalam insiden ini.
“Pemerintah perlu melibatkan musyawarah warga dan jika perlu, meninjau ulang proyek bendungan dan tambang tersebut jika berpotensi merusak kehidupan sosial, ekonomi, budaya, dan lingkungan warga,” ujar Naufal.
Pembangunan Dinilai Lambat
Kesabaran pemerintah mungkin mulai menipis, sehingga kekerasan menjadi pilihan. Dokumentasi rapat Pemerintah Kabupaten Purworejo tanggal 5 Februari 2021 menyebut, ada keluhan dari Kantor Staf Presiden karena lambannya proses pembangunan bendungan ini. Keluhan itu disampaikan Helson Siagian, Tenaga Ahli Utama dan Koordinator Tim Infrastruktur Kedeputian I Kantor Staf Presiden.
“Perlu saya sampaikan bahwa pembangunan bendungan ini termasuk sangat lambat dibandingkan bendungan-bendungan lainnya. Menurut catatan kami progres ini belum mencapai target semestinya, padahal kontrak sudah dimulai sejak tahun 2018,” ujar Helson dalam rapat itu.
Bendungan Bener berada di Kabupaten Purworejo, Provinsi Jawa Tengah. Airnya akan dikumpulkan dari aliran sungai Bogowonto yang diapit dua bukit di lokasi tersebut. Menurut Kemen PUPR, tinggi bendungan adalah 159 meter dan merupakan yang tertinggi di Indonesia, dan kedua tertinggi di Asia Tenggara. Presiden Jokowi menjadikan ini sebagai salah satu Proyek Strategis Nasional dengan anggaran lebih dari Rp 3triliun, dan diharapkan beroperasi pada 2023.
Dalam peluncuran proyek pada 2018, Jokowi melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) menganggarkan Rp8,44 triliun untuk pembangunan tiga bendungan besar, termasuk Bendungan Bener. Rinciannya, Bendungan Tiga Dihaji di Sumatera Selatan dengan kapasitas 104,83 juta meter kubik senilai Rp3,82 triliun. Bendungan Bener dengan kapasitas 90,39 juta meter kubik senilai Rp3,79 triliun. Serta Bendungan Sidan di Bali, dengan kapasitas 3,8 juta meter senilai Rp830 miliar.
"Pembangunan bendungan, embung, dan infrastruktur sumber daya air lainnya adalah upaya mencapai ketahanan air dan kedaulatan pangan,” ujar Menteri PUPR Basuki Hadimuljono dalam siaran pers resmi, tertanggal 24 November 2018.
Dalam data paparan perencanaan Kementerian PUPR, bendungan ini merupakan bagian bagian dari strategi ketahanan pangan. Lebih khusus, penyediaan insfrastruktur irigasi di Kabupaten Purworejo dan sumber air baku bagi Kabupaten Purworejo dan Kebumen di Jawa Tengah, serta Kabupaten Kulon Progo di DI Yogyakarta.
Jokowi menargetkan Bendungan Bener akan selesai 2023. Bisa jadi, batas waktu itu tidak mampu ditepati jika petani Wadas terus menolak, dan membendung cita-cita Jokowi untuk membangun bendungan tertinggi di Indonesia tersebut. [ns/ah]