Wabah demam berdarah dan diare cair yang akut telah “membunuh ratusan orang” di Sudan yang dilanda perang, demikian laporan para petugas medis, pada Senin (25/9). Mereka memperingatkan “penyebaran penyakit yang sangat berdampak buruk” bisa membebani sistem kesehatan negara tersebut.
Dalam sebuah pernyataan, serikat dokter Sudan memperingatkan bahwa situasi kesehatan di negara bagian Gedaref di bagian tenggara, di area perbatasan dengan Ethiopia, “memburuk pada tingkat yang mengerikan,” dengan ribuan orang terinfeksi demam berdarah.
Meskipun Gedaref terhindar dari dampak langsung perang brutal antara tentara reguler dan kelompok paramiliter, Pasukan Dukungan Cepat (RSF), namun Gedaref terkena dampak pengungsian massal dan krisis kemanusiaan lainnya.
BACA JUGA: Ethiopia, Mesir, Sudan Mulai Lagi Perundingan Bendungan NilMenurut PBB, lima bulan lebih setelah perang, 80% rumah sakit di Sudan tidak berfungsi.
Bahkan sebelum perang, sistem layanan kesehatan yang lemah kesulitan membendung wabah penyakit tahunan yang menyertai musim hujan di negara itu. Musim hujan di negara itu dimulai pada bulan Juni, dan membawa penyakit termasuk malaria – yang merupakan penyakit endemik di Sudan – dan demam berdarah.
Tahun ini, ketika Gedaref menampung lebih dari 250.000 pengungsi internal, menurut PBB, situasinya menjadi jauh lebih buruk.
“Tempat tidur rumah sakit semuanya penuh, tetapi pasien terus berdatangan, terutama anak-anak,” kata seorang sumber medis dari Rumah Sakit Gedaref kepada AFP, yang meminta tidak disebutkan namanya karena khawatir akan keselamatannya.
“Tetapi yang berobat di rumah jauh lebih banyak dibandingkan di rumah sakit,” ujarnya.
BACA JUGA: Perubahan Iklim Hambat Upaya Perangi AIDS, TBC dan MalariaWarga Gedaref, Amal Hussein, mengatakan kepada AFP bahwa "di setiap rumah, setidaknya ada tiga orang yang menderita demam berdarah."
Petugas kesehatan dan PBB telah berulang kali memperingatkan bahwa kombinasi antara kekerasan di Sudan, serta musim hujan dan infrastruktur yang hancur, akan menimbulkan wabah penyakit.
Lebih dari 1.200 anak-anak telah meninggal di kamp pengungsi sejak Mei lalu. Kebanyakan di antaranya meninggal dunia akibat wabah campak, menurut badan pengungsi PBB. [my/jm/rs]