Pihak-pihak yang berperang di Sudan pada Senin (29/5) setuju untuk memperpanjang gencatan senjata dalam pertempuran mereka untuk memperebutkan kekuasaan negara tersebut, setelah dua mediator internasional menunjukkan ketidaksabaran mereka akibat pelanggaran gencatan senjata yang terus terjadi.
Perpanjangan gencatan senjata selama lima hari antara militer Sudan dengan musuhnya, pasukan paramiliter Pasukan Dukungan Cepat (RSF), diumumkan melalui sebuah pernyataan bersama pada hari Senin oleh Arab Saudi dan Amerika Serikat.
“Perpanjangan itu akan memberikan waktu untuk pengiriman bantuan kemanusiaan, pemulihan layanan penting, dan pembahasan kemungkinan perpanjangan jangka panjang,” bunyi pernyataan itu.
Perkembangan itu terjadi setelah Riyadh dan Washington memarahi kedua pihak yang berperang pada hari Minggu, karena pelanggaran-pelanggaran khusus terhadap gencatan senjata selama seminggu, yang seharusnya berakhir Senin malam, alih-alih hanya menerbitkan permohonan umum agar kedua pihak menghormati kesepakatan.
Sudan jatuh ke dalam kekacauan setelah pertempuran mulai terjadi pada pertengahan April di antara militer Sudan pimpinan Jenderal Abdel-Fattah Burhan dan RSF yang dikomandani Jenderal Mohammed Hamdan Dagalo. Pertempuran itu telah menewaskan sedikitnya 866 warga sipil dan melukai ribuan orang, menurut Sindikasi Dokter Sudan yang mencatat jumlah korban jiwa dari kalangan masyarakat sipil. Jumlah sesungguhnya kemungkinan jauh lebih banyak, kata kelompok medis itu.
Konflik itu telah mengubah Ibu Kota Khartoum dan kota-kota besar lainnya menjadi medan perang, memaksa 1,4 juta penduduknya untuk melarikan diri ke wilayah lain yang lebih aman di dalam Sudan atau bahkan menyeberang ke negara-negara tetangga. Pada awal pecahnya perang, pemerintah negara-negara asing bergegas mengevakuasi para diplomat dan warga mereka, ketika ribuan warga asing berusaha meninggalkan negara di benua Afrika itu.
AS dan Arab Saudi telah memediasi perundingan antara militer dan RSF selama berminggu-minggu di kota pelabuhan Arab Saudi, Jeddah. Sejauh ini, telah terdapat tujuh gencatan senjata, yang semuanya dilanggar hingga batas-batas tertentu.
Dalam pernyataan hari Minggu, AS dan Arab Saudi menyoroti pihak militer yang terus melancarkan serangan udara, sementara RSF masih menduduki rumah-rumah warga dan menyita properti. Bensin, uang, pasokan bantuan dan kendaraan milik konvoi kemanusiaan dicuri. Pencurian pun terjadi di wilayah-wilayah yang dikendalikan kedua pihak, bunyi pernyataan itu.
BACA JUGA: Pertempuran Berkecamuk di Darfur Sudan pada Gencatan Senjata Hari ke-4Alan Boswell dan lembaga think tank International Crisis Group mengatakan, pernyataan bersama itu diterbitkan untuk menekan kedua pihak agar lebih patuh, ketika baik AS maupun Arab Saudi tidak punya skenario lain selain melakukan perundingan di Jeddah.
“Masih belum ada strategi yang jitu untuk menciptakan gencatan senjata yang sukses,” kata Boswell, yang merupakan direktur wilayah Tanduk Afrika di lembaga think tank tersebut. “Semakin jelas dari hari ke hari bahwa para mediator tidak dapat menunggu terwujudnya gencatan senjata yang stabil untuk memulai proses politik yang lebih besar untuk menemukan solusi konflik itu.”
Kholood Khalid, pengamat asal Sudan di lembaga kajian Confluence Advisory yang bermarkas di Khartoum, mengatakan, perhatian para mediator tampaknya beralih ke menegosiasikan perjanjian gencatan senjata yang bertujuan untuk dapat memulai proses politik.
“Tapi tanpa konsekuensi atas pelanggaran gencatan senjata dan pemeliharaan logika mediasi yang tidak sempurna, tampaknya hanya ada sedikit harapan tercapainya keberhasilan dalam upaya-upaya tersebut,” ungkapnya. [rd/jm]