Kepala junta Myanmar, Min Aung Hlaing, tiba di China pada Selasa (5/11), dalam kunjungan pertamanya sejak melakukan kudeta pada 2021. Namun, para analis menganggap undangan itu sebagai dukungan setengah hati dari sekutu utama Naypyidaw yang bisa berakibat buruk.
Min Aung Hlaing berada di Kunming, barat daya China, untuk menghadiri pertemuan puncak Subkawasan Mekong Raya (GMS), sebuah kelompok yang beranggotakan China, Myanmar, Thailand, Laos, Vietnam, dan Kamboja. KTT itu akan dimulai pada Rabu (6/11).
Jenderal senior tersebut dijadwalkan akan bertemu dengan para pemimpin China "untuk mengembangkan dan memperkuat kerja sama ekonomi serta multisektoral," kata junta pada Senin (4/11).
Ketika militer menggulingkan pemerintahan sipil terpilih Aung San Suu Kyi pada 2021, media pemerintah China tidak menyebutnya sebagai kudeta, tetapi sebagai "perombakan kabinet besar-besaran."
Sejak saat itu, China mendukung junta militer, meskipun negara-negara lain menjauhi para jenderal karena tindakan keras brutal mereka dalam menyikapi perbedaan pendapat. Para penentang junta mengatakan tindakan represif itu di antaranya mencakup pembantaian warga sipil dan pembumihangusan desa-desa melalui serangan udara dan artileri.
Richard Horsey, penasihat senior Crisis Group untuk Myanmar, menyatakan bahwa Min Aung Hlaing berupaya mendapatkan undangan resmi sejak kudeta, sebagai bentuk dukungan publik.
Namun, Beijing menekankan fokus regional dalam pertemuan di Kunming, menyatakan bahwa mereka ingin berkonsultasi dengan "semua pihak" dalam konteks "pemulihan global yang melemah dan turbulensi geopolitik."
BACA JUGA: Junta: Jenderal Senior Myanmar Lakukan Kunjungan Resmi ke ChinaKunjungan Min Aung Hlaing berlangsung di tengah kondisi junta militer yang terguncang akibat serangan pemberontak yang menghancurkan tahun lalu. Para pejuang demokrasi itu merebut wilayah kurang lebih seukuran Bosnia yang sebagian besar terletak dekat perbatasan dengan China.
Para analis menyatakan bahwa Beijing khawatir akan kemungkinan jatuhnya junta dan curiga terhadap pengaruh Barat di kalangan beberapa kelompok bersenjata pro-demokrasi yang melawan militer.
Myanmar adalah bagian penting dari inisiatif Sabuk dan Jalan senilai triliunan dolar milik Beijing, yang mencakup proyek pembangunan jalur kereta api dan jaringan pipa untuk menghubungkan wilayah barat daya China yang terkurung daratan dengan Samudra Hindia.
"Beijing kini telah memperjelas niatnya agar militer Myanmar berhasil," kata Jason Tower dari Institut Perdamaian Amerika Serikat. [ah/rs]