"Ibu kota negara kita akan pindah," tegas Jokowi di akun media sosialnya. Tiga provinsi dia sebut sebagai calonnya. Dia juga mengatakan, segala aspek dalam proses pemindahan itu, baik skema pembiayaan, desain kelembagaan, payung hukum regulasi, sedang dikaji secara mendalam dan detail.
“Pengalaman negara-negara lain dalam pemindahan ibu kota juga dipelajari untuk kita antisipasi hambatannya. Sebaliknya, faktor-faktor kunci keberhasilan yang bisa kita adopsi, kita adaptasi. Dalam memutuskan pemindahan ibu kota ini, posisi saya bukan sebagai kepala pemerintahan, tetapi sebagai kepala negara. Kita harus melihat visi besar berbangsa dan bernegara untuk 10 tahun, 50 tahun, 100 tahun yang akan datang,” tambah Jokowi.
Your browser doesn’t support HTML5
Dukungan dan penolakan diberikan banyak pihak. Perkumpulan Profesional Lingkungan Indonesia (Profling) termasuk yang setuju dengan gagasan itu. Menurut ketua organisasi ini, Tasdiyanto Rohadi, memindahkan ibu kota adalah juga upaya menyelamatkan lingkungan di Jawa.
“Sesungguhnya, kelebihan dari pemindahan ibu kota ke luar Jawa, akan menyelamatkan ekologi Jawa yang terancam kolaps. Jadi, pulau Jawa kita selamatkan, kita bisa merencanakan kota baru di luar Jawa dengan perencanaan yang lebih baik. Infrastruktur yang ramah lingkungan disiapkan, pembuangan air limbah disiapkan dengan baik, pemenuhan air bersih disiapkan dengan baik. Dengan perencanaan yang baik, kota yang ramah lingkungan bisa diwujudkan,” ujar Rohadi kepada media di Yogyakarta.
Alasan Rohadi cukup masuk akal. Kota-kota di Jawa, terutama Jakarta telah rusak sebagai akibat dari kepadatan penduduk dan polusi alat transportasi. Dia bahkan mengatakan, Jawa akan mengalami kolaps, di mana kondisi lingkungannya tidak bisa lagi mendukung kehidupan yang baik. Polemik mengenai kualitas udara di Jakarta yang mengemuka dalam beberapa pekan terakhir, kata Rohadi, menguatkan peringatan bahwa Jawa makin tidak layak. Belum lagi jika membicarakan kualitas air dan daya dukung yang lain.
Sejak sekitar sepuluh tahun yang lalu, kekhawatiran mengenai daya dukung Jakarta sebenarnya sudah mengemuka. Perbaikan akses kawasan di sekitar ibu kota, ketika itu dipilih menjadi jalan keluar. Namun belakangan, konsep itu ternyata tidak mampu mengurangi beban Jakarta.
Terkait keberatan aktivis lingkungan bahwa ibu kota baru akan merusak alam, Rohadi menyebut konsekuensi dari perkembangan wilayah akibat pertambahan penduduk memang tidak bisa dihindari. Kuncinya adalah membuat lingkungan hidup buatan yang berkualitas baik. Sehingga lingkungan alami yang diubah, tidak kehilangan fungsinya.
Bagaimana dengan kebakaran hutan dan lahan yang menyebabkan bencana kabut asap?
“Yang kami pikirkan, kalau ibu kota negara ada di sana, karena lebih dekat dengan pusat pemerintahan, maka akan lebih diperhatikan. Ini logika kami. Bencana kebakaran lahan dan hutan bisa dikurangi, dan bisa dinihilkan kalau kita serius,” ujar Rohadi beralasan.
Pakar lingkungan Profling, Esrom Panjaitan menambahkan, dari sisi kualitas udara saja, Jakarta sudah sangat buruk. Pemindahan ibu kota, setidaknya akan mengurangi jumlah kendaraan hingga 30 persen. Karenanya, setelah pusat pemerintahan berpindah, Jakarta justru akan lebih bersih.
Soal kabut asap, Esrom yakin akan bisa ditekan maksimal. Alasannya, posisi presiden di ibu kota baru akan memaksa pejabat setempat mencegah bencana itu terjadi semaksimal mungkin.
“Pasti akan turun pencemarannya, karena di sana ada bosnya. Bisa dipecat semua, Kapolda dan Pangdam kalau hutan dan lahan masih terbakar. Presiden, kan disitu. Dia akan ganti semua pejabat terkait kalau tidak bisa memadamkan itu,” kata Esrom.
Sementara itu, Kalimantan Tengah, yang paling banyak disebut sebagai calon ibu kota baru, masih bergulat dengan asap pada Selasa (13/8). Habibi, pegiat dari Save Our Borneo bercerita kepada VOA, ibu kota Kalimantan Tengah, Palangkaraya, masih dikepung kebakaran dan diselimuti kabut asap. Begitu parahnya, hingga siswa sekolah diliburkan agar paru-paru mereka lebih terjaga, setidaknya dengan berada di dalam rumah.
Kebakaran hutan dan lahan gambut, kata Habibi terjadi hampir setiap tahun. Pada 2015, kebakaran besar melanda, dan pemerintah kemudian menggiatkan upaya pencegahan. Volume kebakaran sempat menurun, tetapi tidak hilang sama sekali sampai saat ini. Habibi melihat, upaya antisipasi kebakaran hutan dan lahan dari pemerintah belum berjalan efektif.
Penyebabnya cukup kompleks, kata Habibi. Ekosistem gambut Kalimantan saat ini sudah rusak. Dulu, untuk mengatasi gambut yang kering, pemerintah membuat kanal-kanal agar air sungai mengalir ke laham gambut. Namun, ketika kemarau, air yang tersimpan di lahan gambut justru keluar dan terbawa ke sungai.
Programnya kemudian diubah menjadi pembuatan sekat kanal, untuk menahan air tetap berada di lahan gambut. Sayangnya, masih saja ada lembaga pemerintah yang membuat kanal-kanal di area gambut sampai saat ini. Habibi menyebut, tidak ada koordinasi yang baik dalam program pencegahan ini.
Dari sisi penegakan hukum, ancaman presiden mengganti Kapolda atau Pangdam jika kebakaran lahan masih terus terjadi, mungkin berdampak. Habibi mencatat ada sejumlah penangkapan masyarakat pelaku pembakaran, tetapi jumlahnya tidak signifikan. Dia menambahkan, jika kebakaran terjadi di lahan konsesi, semestinya perusahaan turut bertanggung jawab.
“Ada beberapa perusahaan yang dalam konsesinya terjadi kebakaran. Terlepas apakah perusahaan terlibat atau tidak, seharusnya dia bertanggung jawab terhadap kawasan konsesinya,” kata Habibi.
BACA JUGA: Jokowi Ancam Copot Pejabat TNI-Polri Jika Gagal Atasi Kebakaran HutanTerkait rencana pemindahan ibu kota oleh Jokowi, Save Our Borneo cenderung tidak setuju. Menurut mereka, proyek itu membutuhkan biaya besar dan akan mengorbankan wilayah Kalimantan Tengah. Selama ini, wilayah tutupan hutan Kalimantan sudah berkurang banyak. Konversi hutan untuk pembangunan infrastruktur pemerintahan baru akan memperparah kondisi itu.
Terkait kemungkinan bahwa jika ibu kota ada di Kalimantan, maka pencegahan kebakaran hutan dan lahan akan lebih maksimal, Habibi tidak memungkiri kemungkinan itu. Namun, dia merekomendasikan, Jokowi berkantor terlebih dahulu di Palangkaraya bulan ini, ketika kabut asap mengepung mereka.
BACA JUGA: Problem Sosial dan Lingkungan Iringi Pemindahan Ibu Kota“Mungkin saja akan lebih efektif pencegahannya, karena kalau beliau berkantor di sini, bisa memantau secara langsung atau ikut merasakan. Paling tidak, memiliki rasa berkepentingan untuk menjaga itu. Karena, kan ibu kota. Masa ibu kota kebakaran. Lebih bagus begitu (berkantor di sini satu bulan dulu), biar beliau merasakan bagaimana susahnya kalau terjadi kabut asap di sini,” tambah Habibi.
Dukungan dan penolakan terhadap pemindahan ibu kota ke Kalimantan nampaknya akan terus bergulir. Masuk akal memang, menghindar dari Jakarta yang semakin parah polusinya. Namun, tanpa mengatasi bencana kabut asap di Kalimantan, langkah ini menimbulkan kekhawatiran. Bisa jadi, ibu kota kita lari dari polusi kendaraan tapi terperangkap kabut asap kebakaran lahan. [ns/ab]