Pete Seeger adalah musisi folk yang selalu terlibat dalam aktivisme sosial dan politik, mulai dari anti-perang, perjuangan serikat buruh sampai gerakan hak perempuan dan gay.
Pete Seeger, yang dianggap sebagai seniman musik folk paling berpengaruh di Amerika, meninggal dunia, Senin (27/1) di New York pada usia 94 tahun. Seorang pemain banjo dan gitar yang handal, ia juga dikenal karena aktivismenya dan tema-tema lagunya mengenai toleransi ras dan perdamaian.
Selama karirnya, Seeger menulis lebih dari 100 lagu, mulai dari seruan kebebasan "If I Had A Hammer," sampai lagu mengenai hak-hak sipil "We Shall Overcome," dan lagu kebangsaan anti-perang, "Where Have All the Flowers Gone?"
Ia lahir di New York City. Ayahnya adalah ahli musikologi dan penulis lagu, sementara sang ibu adalah seorang pemain biola klasik dan guru.
Seeger kuliah di Harvard University, namun sepertinya lebih tertarik belajar bermain banjo yang berdawai lima, dan meninggalkan bangku kuliah pada akhir 1930an.
Belakangan ia bertemu penyanyi/penulis lagu Woody Guthrie, yang menjadi mentor dan pengaruh terbesarnya. Mereka bernyanyi di konser-konser amal untuk pekerja pertanian migran dan anggota serikat buruh, menjadikan mereka populer di kalangan kelompok-kelompok sayap kiri dan radikal.
Seeger seringkali memuji Guthrie telah memberinya peta musik yang memandu karirnya.
Pada 1948, Seeger membentuk sebuah kuartet yang disebut The Weavers, yang mulai memelopori kebangkitan musik folk atau musik rakyat. The Weavers memiliki keberhasilan komersial dengan lagu-lagu seperti "Goodnight, Irene" dan "If I Had A Hammer."
Meski kelompok ini menjual lebih dari empat juta rekaman, popularitasnya terhenti pada era Perang Dingin, karena dituduh sebagai simpatisan komunis. The Weavers masuk daftar hitam dalam industri musik dan kontrak rekaman mereka dibatalkan.
Namun ketika gelombang politik berubah pada 1960an, Seeger dirangkul oleh generasi baru sebagai pahlawan musik folk.
Sebagai aktivis hak-hak sipil, Seeger bernyanyi dan berbaris bersama Pendeta Martin Luther King Jr. Aransemen lagunya untuk himne Gereja Baptis, "We Shall Overcome," menjadi lagu tema gerakan hak-hak sipil pada saat itu. Ia menjelaskan mengapa musik sepertinya selalu diasosiasikan dengan protes.
"Mungkin karena menyanyi dianggap kurang mengancam seperti berpidato. Saya kira di setiap negara ada tradisi menyanyi pada masa-masa krisis. Ketika ada perang, ada lagu perang, dan ketika seseorang jatuh cinta, kita menulis puisi cinta," ujar Seeger.
Pada pertengahan 1960an, Seeger memulai kampanye untuk membersihkan Sungai Hudson yang tercemar di negara bagian New York.
Aktivismenya kemudian bergeser pada pelucutan nuklir dan penutupan pembangkit listrik tenaga nuklir. Ia juga berkampanye untuk penelitian AIDS dan gerakan anti-apartheid di Afrika Selatan.
Mengikuti tradisi Woody Guthrie, Pete Seeger menyanyikan pengalaman Amerika, bagaimana pergulatan untuk perubahan dapat menjadi proses yang menyakitkan.
Dalam konser, ia memiliki kekuatan untuk menyihir penonton agar menyanyi bersama dengannya. Suatu kali, dalam sebuah penampilan di Moskow, ia mengajari 10.000 orang Rusia yang tidak mengenal Bahasa Inggris sama sekali untuk menyanyikan lagu "Michael, Row The Boat Ashore" dalam harmonisasi empat bagian.
Seeger selalu mengenalkan setiap lagu dengan sedikit perspektif sejarah atau menceritakan inspirasinya. Ia terutama disenangi anak-anak karena cerita-cerita dan kisah binatangnya, dan banyak rekamannya untuk anak-anak masih populer.
Setelah kematian sahabat lama dan koleganya, Woody Guthrie, Pete Seeger sering tampil di konser dengan putra Woody, Arlo, seorang penyanyi folk dan pop berbakat. Keduanya tampil dalam album pada 1988 Folkways: A Vision Shared, A Tribute to Woody Guthrie and Leadbelly.
Pada 1994, Seeger menerima penghargaan seni Kennedy Center Honor, sebuah penghormatan khusus bagi seorang pria yang dulu dimasukkan daftar hitam karena dugaan pandangan politiknya. Seeger sempat berkomentar mengenai mengapa ia menjalani hidup sebagai aktivis.
"Saya telah mencoba menggabungkan aksi sosial dengan musik seluruh hidup saya, baik untuk perdamaian, anti-perang, serikat buruh, hak sipil, gerakan perempuan atau gerakan kebebasan gay, saya telah berpartisipasi dalam semuanya," ujarnya.
"Saya yakin semuanya adalah sisi-sisi yang berbeda dari satu krisis dahsyat yang dapat menghapus umat manusia atau dapat diatasi oleh kita."
Motto hidup Seeger diukir pada banjonya, "This machine surrounds hate and forces it to surrender (Alat ini mengepung kebencian dan memaksanya menyerah)." (Reuters)
Selama karirnya, Seeger menulis lebih dari 100 lagu, mulai dari seruan kebebasan "If I Had A Hammer," sampai lagu mengenai hak-hak sipil "We Shall Overcome," dan lagu kebangsaan anti-perang, "Where Have All the Flowers Gone?"
Ia lahir di New York City. Ayahnya adalah ahli musikologi dan penulis lagu, sementara sang ibu adalah seorang pemain biola klasik dan guru.
Seeger kuliah di Harvard University, namun sepertinya lebih tertarik belajar bermain banjo yang berdawai lima, dan meninggalkan bangku kuliah pada akhir 1930an.
Belakangan ia bertemu penyanyi/penulis lagu Woody Guthrie, yang menjadi mentor dan pengaruh terbesarnya. Mereka bernyanyi di konser-konser amal untuk pekerja pertanian migran dan anggota serikat buruh, menjadikan mereka populer di kalangan kelompok-kelompok sayap kiri dan radikal.
Seeger seringkali memuji Guthrie telah memberinya peta musik yang memandu karirnya.
Pada 1948, Seeger membentuk sebuah kuartet yang disebut The Weavers, yang mulai memelopori kebangkitan musik folk atau musik rakyat. The Weavers memiliki keberhasilan komersial dengan lagu-lagu seperti "Goodnight, Irene" dan "If I Had A Hammer."
Meski kelompok ini menjual lebih dari empat juta rekaman, popularitasnya terhenti pada era Perang Dingin, karena dituduh sebagai simpatisan komunis. The Weavers masuk daftar hitam dalam industri musik dan kontrak rekaman mereka dibatalkan.
Namun ketika gelombang politik berubah pada 1960an, Seeger dirangkul oleh generasi baru sebagai pahlawan musik folk.
Sebagai aktivis hak-hak sipil, Seeger bernyanyi dan berbaris bersama Pendeta Martin Luther King Jr. Aransemen lagunya untuk himne Gereja Baptis, "We Shall Overcome," menjadi lagu tema gerakan hak-hak sipil pada saat itu. Ia menjelaskan mengapa musik sepertinya selalu diasosiasikan dengan protes.
"Mungkin karena menyanyi dianggap kurang mengancam seperti berpidato. Saya kira di setiap negara ada tradisi menyanyi pada masa-masa krisis. Ketika ada perang, ada lagu perang, dan ketika seseorang jatuh cinta, kita menulis puisi cinta," ujar Seeger.
Pada pertengahan 1960an, Seeger memulai kampanye untuk membersihkan Sungai Hudson yang tercemar di negara bagian New York.
Aktivismenya kemudian bergeser pada pelucutan nuklir dan penutupan pembangkit listrik tenaga nuklir. Ia juga berkampanye untuk penelitian AIDS dan gerakan anti-apartheid di Afrika Selatan.
Mengikuti tradisi Woody Guthrie, Pete Seeger menyanyikan pengalaman Amerika, bagaimana pergulatan untuk perubahan dapat menjadi proses yang menyakitkan.
Dalam konser, ia memiliki kekuatan untuk menyihir penonton agar menyanyi bersama dengannya. Suatu kali, dalam sebuah penampilan di Moskow, ia mengajari 10.000 orang Rusia yang tidak mengenal Bahasa Inggris sama sekali untuk menyanyikan lagu "Michael, Row The Boat Ashore" dalam harmonisasi empat bagian.
Seeger selalu mengenalkan setiap lagu dengan sedikit perspektif sejarah atau menceritakan inspirasinya. Ia terutama disenangi anak-anak karena cerita-cerita dan kisah binatangnya, dan banyak rekamannya untuk anak-anak masih populer.
Setelah kematian sahabat lama dan koleganya, Woody Guthrie, Pete Seeger sering tampil di konser dengan putra Woody, Arlo, seorang penyanyi folk dan pop berbakat. Keduanya tampil dalam album pada 1988 Folkways: A Vision Shared, A Tribute to Woody Guthrie and Leadbelly.
Pada 1994, Seeger menerima penghargaan seni Kennedy Center Honor, sebuah penghormatan khusus bagi seorang pria yang dulu dimasukkan daftar hitam karena dugaan pandangan politiknya. Seeger sempat berkomentar mengenai mengapa ia menjalani hidup sebagai aktivis.
"Saya telah mencoba menggabungkan aksi sosial dengan musik seluruh hidup saya, baik untuk perdamaian, anti-perang, serikat buruh, hak sipil, gerakan perempuan atau gerakan kebebasan gay, saya telah berpartisipasi dalam semuanya," ujarnya.
"Saya yakin semuanya adalah sisi-sisi yang berbeda dari satu krisis dahsyat yang dapat menghapus umat manusia atau dapat diatasi oleh kita."
Motto hidup Seeger diukir pada banjonya, "This machine surrounds hate and forces it to surrender (Alat ini mengepung kebencian dan memaksanya menyerah)." (Reuters)