Indonesia telah berkomitmen untuk beralih sepenuhnya ke sumber energi baru terbarukan (EBT) pada 2060. PLN menjadi bagian penting dari transisi ini karena penyedia listrik nasional ini menjadi satu dari tiga sektor utama penyumbang energi kotor. Namun, tentu ada ongkos yang harus dibayar. Wiluyo Kusdwiharto, Direktur Mega Proyek dan Energi Baru Terbarukan PT PLN menyebut dibutuhkan dana hingga Rp10 ribu triliun untuk mengonversi energi fosil menjadi EBT.
“PLN tidak punya uang sebanyak itu. Untuk itu kami membuka kesempatan untuk berkolaborasi, berpartner dengan lembaga-lembaga internasional, dengan perusahaan internasional maupun dalam negeri,” kata Wiluyo, ketika berbicara pada diskusi investasi EBT yang diselenggarakan Kementerian Investasi-BKPM, Rabu (2/10).
“Kami butuh juga soft loan, green fund, kemudian juga lembaga-lembaga donor yang sangat concerned dengan EBT ini, supaya peralihan menuju EBT ini bisa kami lakukan dengana baik,” tambahnya.
Menurut perhitungan PLN, pada tahun 2060 Indonesia akan membutuhkan listrik berkapasitas 600 GW (gigawatt) dari pembangkit EBT. Angka itu hampir sepuluh kali lipat dari kapasitas produksi pembangkit EBT saat ini yang mencapai 66 GW.
PLN yakin, Indonesia memiliki potensi jauh lebih besar dari kebutuhan listrik. Menurut data mereka, Indonesia memiliki potensi pembangkit surya atau matahari sekitar 3.295 GW, tenaga hidro 95 GW, bioenergi atau biomassa 57 GW, bayu atau angin 155 GW, panas bumi 24 GW dan laut atau tidal 60 GW.
“Jadi totalnya ada sekitar 3.686 GW potensi renewable. Kita tadi butuh hanya 600,” ucapnya.
“Untuk itu, yang menjadi tantangan sekarang adalah investasinya ini. Apakah kita bisa menyiapkan investasi sebesar itu untuk mendukung program net zero emission di tahun 2060,” tanya Wiluyo.
PLN Teken Mandate Letter
Sementara itu, menurut rilis dari PLN, perusahaan itu telah menandatangani mandate letter senilai $750 juta dari delapan bank internasional dan multinasional untuk mendukung sejumlah proyek transisi energi hijau yang bakal digarap perseroan.
Mandat pembiayaan hijau ini ditandatangani oleh Direktur Keuangan PLN Sinthya Roesly dengan delapan pimpinan bank internasional dan multinasional yang disaksikan langsung oleh Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo dalam rangkaian acara Energy Transition Day di Nusa Dua, Bali, Selasa (1/11).
Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo menjelaskan pihaknya melakukan sejumlah inisiatif dalam mendukung agenda dekarbonisasi. Salah satunya adalah memensiunkan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dan gencar membangun pembangkit EBT. Dalam menjalankan proyek mengejar target carbon neutral, katanya, PLN menyambut dukungan internasional dari sisi pembiayaan.
Darmawan menjelaskan dukungan internasional dan kolaborasi diperlukan dalam mendukung misi PLN dalam upaya menyukseskan transisi energi di Indonesia.
BACA JUGA: Jelang G20, Indonesia Pastikan Siap Lakukan Transisi EnergiDelapan bank yang memperoleh mandat pembiayaan hijau ini adalah Bank of China, China Construction Bank, CIMB, DBS Bank, PT Bank Mizuho Indonesia/Mizuho Bank Ltd, OCBC, Sumitomo Mitsui Banking Corporation/Bank BTPN, dan United Overseas Bank (UOB).
Prospek Investasi Besar
Pengamat ekonomi energi dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Dr Fahmy Radhi, meyakinkan PLN bahwa prospek investasi pada EBT sangat menjanjikan. Sejumlah indikator menunjukkan itu, kata dia.
“Pertama, kita lihat komitmen global untuk beralih pada sustainable energy ini sangat besar sekali. Kita mencatat bagaimana komitmen tadi dituangkan dalam Paris Agreement yang Indonesia juga ikut meratifikasi,” paparnya.
Salah satu target yang ingin dicapai dalam Paris Agreement adalah zero carbon pada 2050. Indonesia sendiri saat ini menerapkan program transisi energi yang menetapkan target lebih realistis pada 2060.
Banyak pihak berperan untuk mencapai tujuan itu, salah satunya PLN, kata Fahmy. Perusahaan listrik itu sampai saat ini tercatat sebagai satu dari tiga penyumbang karbon terbesar di Indonesia.
“Manufaktur penyumbang terbesar. Transportasi menggunakan energi fosil juga penyumbang terbesar, dan juga PLN,” ujarnya.
Sumbangan PLN itu terutama datang dari pembangkit listrik yang menggunakan bahan bakar fosil, terutama batu bara yang memang masih dominan.
Indikator lain adalah perubahan regulasi yang disiapkan pemerintah, untuk mendukung transisi energi. Misalnya, kata Fahmy, di sektor manufaktur telah disiapkan beberapa regulasi yang mengatur pengelolaan limbah pencemar lingkunan.
BACA JUGA: Pemerintah Resmi Hentikan Pembangunan PLTU Baru“Kemudian juga ada insentif berupa carbon tax, bahkan perbankan akan didorong memberikan rate yang rendah bagi perusahaan yang mengembangkan energi baru terbarukan,” jelasnya.
Fahmy juga setuju bahwa sumber daya besar EBT di Indonesia terkendala oleh ketiadaan teknologi.
“Saya sepakat bahwa PLN tidak bisa sendirian dalam pengembangan dari segi teknologi dan pendanaan. Siapa yang akan membiayainya? PLN tidak mungkin, nanti utangnya bertambah banyak. APBN juga tidak mungkin. Maka perlu ada partner, dalam hal ini adalah investor,” tegas Fahmy.
Pemerintah Perbaiki Regulasi
Ratih Purbasari Kania, pejabat di Kementerian Investasi-BKPM, memastikan pemerintah telah menyiapkan regulasi untuk mendorong penurunan emisi, khususnya bagi sektor swasta
“Dengan adanya kebijakan pajak karbon, maka praktik carbon offsetting dan carbon trading nantinya akan dapat diterapkan di Indonesia,” kata Ratih memberi contoh.
Selain itu, pemerintah juga mendorong proyek-proyek investasi berkelanjutan, antara lain pembangunan pembangkit berbasis EBT dan penawaran skema blended finance untuk mempercepat pensiun dini PLTU yang berbahan bakar batu bara. Insentif juga ditawarkan dalam pembangunan pembangkit EBT, salah satunya adalah tax holiday, kata Ratih.
Selanjutnya, dalam rangka memberikan kepastian hukum, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden 112/2022. PP itu berisi percepatan pengembangan energi terbarukan untuk penyediaan tenaga listrik, untuk meningkatkan investasi pada sektor energi terbarukan, mempercepat pencapaian target bauran EBT dan mengurangi emisi gas rumah kaca.
Selain itu, pengaturan harga listrik yang dihasilkan dari pembangkit EBT juga dihitung ulang agar investasinya menjadi lebih menarik. Sebelumnya, harga listrik EBT ditentukan berdasarkan biaya pokok. Pengaturan ini kurang menarik, karena harga menjadi rendah dan harus berkompetisi dengan harga listrik dari mayoritas pembangkit PLN yang non-EBT.
Your browser doesn’t support HTML5
“Dengan menetapkan harga patokan tertinggi yang berbeda-beda, tergantung jenis pembangkit EBT-nya, saat ini juga dapat menghitung keekonomian proyek energi terbarukan dengan lebih jelas. Selain itu juga, membuka peluang PLN mendapatkan harga listrik EBT yang sangat kompetitif ke depan,” papar Ratih. [ns/ab]