Perdana Menteri Australia Anthony Albanese, Rabu (5/7) mengkritik otoritas Hong Kong atas pengejaran mereka terhadap dua aktivis prodemokrasi yang kini tinggal di Australia.
Pemimpin Hong Kong mengatakan, Selasa (4/7), bahwa delapan aktivis prodemokrasi yang sekarang tinggal di Amerika Serikat, Inggris, Kanada dan Australia akan dikejar seumur hidup atas dugaan pelanggaran keamanan nasional, menepis kritik bahwa langkah untuk menangkap mereka adalah preseden yang berbahaya.
Albanese mengatakan pemerintahnya prihatin dan kecewa terhadap otoritas Hong Kong yang mengeluarkan surat perintah penangkapan untuk warga negara Australia Kevin Yam dan penduduk tetap Australia Ted Hui.
“Saya tentu saja kecewa. Saya telah mengatakan bahwa kami akan bekerja sama dengan Chinadi mana kami bisa. Tapi kami tidak setuju bila kami diharuskan setuju. Dan kami tidak setuju dengan China terkait tindakan ini,” kata Albanese kepada Australian Broadcasting Corp.
Pemerintah AS dan Inggris juga mengkritik langkah tersebut, dan mempermasalahkan penerapan ekstrateritorial dari Undang-Undang Keamanan Nasional Hong Kong. AS mengatakan itu menandai preseden berbahaya yang mengancam HAM, dan Inggris mengatakan tidak akan menolerir upaya China untuk mengintimidasi dan membungkam orang di luar negeri.
Pemimpin Hong Kong John Lee bersikeras bahwa kekuatan ekstrateritorial ada dalam undang-undang keamanan banyak negara dan pemerintahnya tidak akan terpengaruh oleh komentar pejabat dan politisi luar negeri.
Albanese juga mengatakan ia tidak setuju dengan China atas penahanan jurnalis Australia Cheng Lei yang belum mendapatkan vonis setelah diadili pada Maret tahun lalu atas tuduhan melanggar undang-undang keamanan nasional.
Ia mengatakan Cheng ditahan “tanpa proses yang layak.”
“Kami terus mengadvokasi kepentingan Australia. Kami akan terus melakukannya. Kami akan mengutamakan kepentingan nasional kami. Dan keputusan ini adalah contoh di mana Australia dan China memiliki pendekatan berbeda terhadap masalah ini. Dan kami akan mempertahankan nilai-nilai kami,” kata Albanese.
Hong Kong, bekas koloni Inggris yang kembali ke pemerintahan China pada 1997, semakin diawasi ketat oleh Beijing setelah berbulan-bulan protes massa prodemokrasi pada 2019.
Polisi Hong Kong telah mengakui bahwa mereka tidak akan dapat menangkap delapan orang tersebut jika mereka tetap berada di luar negeri. [ab/uh]