Perdana Menteri baru Thailand Srettha Thavisin berjanji akan bertindak cepat untuk mengatasi masalah ekonomi negaranya dalam pidato pengukuhannya di depan Parlemen pada hari Senin (11/9), setelah empat bulan ketidakpastian politik karena anggota parlemen tidak dapat menyetujui terbentuknya pemerintahan.
Srettha memasuki dunia politik setelah berkarir sebagai pengembang real estat besar, dan pemerintahannya menghadapi ekspektasi tinggi dan tuntutan mendesak untuk mengatasi berbagai masalah ekonomi, politik, sosial dan lingkungan dalam masa jabatan empat tahunnya.
Perekonomian Thailand pascapandemi bagaikan “orang sakit”, dengan pemulihan yang lamban sehingga menempatkan negara ini “berisiko memasuki resesi,” kata Srettha.
Dia berjanji akan segera mengambil langkah-langkah untuk meringankan masalah utang, memitigasi kenaikan biaya energi dan meningkatkan pariwisata, tanpa menjelaskan secara rinci.
Dia juga mengatakan pemerintah akan segera melaksanakan janji kampanyenya – pemberian $280 untuk seluruh warga Thailand berusia 16 tahun ke atas untuk menstimulasi perekonomian dengan meningkatkan belanja jangka pendek. Rinciannya tidak diberikan, meski sebelumnya dia mengatakan biayanya akan mencapai $15,8 miliar dan akan siap dikirimkan pada kuartal pertama tahun depan.
Janji tersebut menarik perhatian besar dalam kampanye pemilu, namun para kritikus mempertanyakan apakah langkah itu akan memiliki dampak yang berkelanjutan.
Hasil pemilu Thailand pada bulan Mei menunjukkan adanya mandat kuat untuk melakukan perubahan setelah hampir satu dekade berada di bawah kekuasaan militer.
Namun Parlemen gagal mendukung koalisi yang dibentuk oleh partai progresif Move Forward, yang memenangkan kursi terbanyak dalam pemilu bulan Mei, karena tidak mendapat dukungan anggota Senat yang ditunjuk oleh militer dan konservatif. [lt/ab]