Sudan, Minggu (2/1), semakin terjerumus ke kekacauan politik ketika Perdana Menteri Abdalla Hamdok mengundurkan diri, dengan alasan tidak bisa memastikan transisi damai menuju demokrasi.
Dalam pidato yang disiarkan televisi, Hamdok mengatakan dia melakukan segala yang mungkin untuk mencegah negara Afrika itu “tergelincir ke dalam bencana” dan memberi “keamanan, perdamaian, keadilan, dan mengakhiri pertumpahan darah.” Dia mengatakan sudah waktunya bagi orang lain untuk memimpin transisi menuju "negara demokrasi sipil."
Pengunduran diri Hamdok pada Minggu (2/1) terjadi lebih dari sebulan setelah ia diangkat kembali sebagai perdana menteri setelah digulingkan militer pada Oktober. Dia kembali menjabat setelah mencapai kesepakatan dengan militer untuk mempertahankan Sudan dalam jalur menuju pemilu yang direncanakan pada 2023.
BACA JUGA: Pasukan Sudan Serbu Kantor Media Al Arabiya di KhartoumHamdok, seorang ekonom dan mantan pejabat PBB, dipilih untuk memimpin pemerintahan transisi yang dibentuk pasca disingkirkannya Presiden Omar al-Bashir yang lama berkuasa di negara itu pada April 2019 di tengah pemberontakan rakyat terhadap pemerintahannya yang otokratis. Pemerintah transisi dibentuk berdasarkan perjanjian pembagian kekuasaan antara militer dan koalisi sipil yang akan memerintah Sudan hingga pemilihan 2023.
Komisi Dokter Sudan yang pro-demokrasi mengatakan tiga orang tewas Minggu dalam bentrokan antara pasukan militer dan pengunjuk rasa sebelum pidato pengunduran diri Hamdok, sehingga jumlah korban tewas sejak kudeta Oktober menjadi 57. Ratusan lainnya terluka.
Biro Urusan Afrika Departemen Luar Negeri Amerika merilis pernyataan di Twitter-nya setelah Hamdok mengundurkan diri, mendesak para pemimpin Sudan agar “menyisihkan perbedaan, menemukan konsensus, dan memastikan pemerintahan sipil terus berkuasa. PM dan kabinet Sudan berikutnya harus ditunjuk sesuai deklarasi konstitusional untuk memenuhi cita-cita rakyat akan kebebasan, perdamaian, dan keadilan.” [ka/ab]