Polisi di Hong Kong menembakkan gas air mata ketika mereka hari Rabu (12/6) kembali bentrok dengan para demonstran yang berkumpul di luar bangunan pemerintah, memprotes sebuah RUU ektradisi.
Para petugas yang mengenakan helm dan membawa perisai berbaris di jalan-jalan, dan secara perlahan-lahan bergerak mendorong para demonstran, yang berusaha memindahkan penghalang jalan dan melemparkan benda-benda ke arah polisi. Ratusan toko sudah mengumumkan rencana tutup, agar para karyawannya dapat mengikuti demonstrasi yang direncanakan itu.
Rabu pagi pemerintah mengumumkan akan menangguhkan sidang dengar pendapat parlemen di mana para anggotanya dijadwalkan membahas RUU ekstradisi yang kontroversial itu.
Seorang pekerja sosial di Hong Kong, Kit Yu mengatakan, “Hari ini rakyat Hong Kong ingin mengatakan kepada pemerintah Hong Kong bahwa pada 9 Juni ada lebih dari satu juta orang yang turun ke jalan, dan kami tidak dapat mundur begitu saja dari tuntutan kami karena pemerintah tidak mengabaikan tuntutan kami, karena ini adalah rumah kami."
"Saya melihat begitu banyak warga Hong Kong yang turun ke jalan hari ini dan saya yakin akan ada banyak lainnya ikut serta dalam beberapa minggu mendatang, untuk menunjukkan tentangan terhadap RUU ekstradisi itu,” tambahnya.
RUU itu akan memudahkan otorita berwenang untuk mengekstradisi orang ke negara-negara yang tidak memiliki perjanjian jangka panjang, seperti Tiongkok Daratan. Kepala Eksekutif Hong Kong Carrie Lam mendukung RUU itu dan menentang demonstrasi besar-besaran hari Minggu lalu (9/6) yang diikuti ratusan ribu warga.
Potensi ekstradisi ke China khususnya, yang memiliki sistem hukum yang sangat berbeda, telah mengkhawatirkan seluruh warga Hong Kong, baik kelompok-kelompok bisnis internasional hingga masyarakat umum dan pihak-pihak pro-demokrasi.
Banyak orang di bekas koloni Inggris itu yang khawatir China akan secara perlahan-lahan berusaha mengikis otonomi khusus yang diberikan untuk Hongkong setelah wilayah itu dikembalikan kepada China pada tahun 1997.
Pada tahun 2014 berlangsung demonstrasi massal yang dikenal sebagai “The Umbrella Movement” atau “Gerakan Payung” – karena para demonstran membawa payung sebagai simbol perlawanan pasif terhadap semprotan merica dan piranti lain yang digunakan polisi Hong Kong untuk membubarkan demonstrasi selama 79 hari di pusat kota itu, menuntut pemilihan langsung setelah China mengingkari janji untuk melangsungkan hak pilih universal pada tahun 2017. Demonstrasi itu berakhir tanpa mendapatkan konsesi apapun dari pemerintah Hong Kong.(em/jm)