Polisi Bangladesh, Selasa (31/10) bentrok dengan ribuan pekerja garmen yang menuntut upah adil untuk pakaian yang mereka buat bagi merek-merek besar Barat. Bentrokan itu terjadi sehari setelah protes serupa menyebabkan sedikitnya dua orang tewas.
Polisi mengatakan puluhan ribu pekerja di puluhan pabrik melancarkan pemogokan di Ashulia dan Gazipur, kota industri terbesar di negara itu, dan pihak berwenang menembakkan gas air mata serta peluru karet ketika massa menghancurkan pabrik dan memblokir jalan.
Gazipur merupakan lokasi lebih dari seribu pabrik yang membuat pakaian untuk merek seperti H&M dan Gap.
“Para pekerja turun ke jalan karena gaji mereka tidak lagi mencukupi untuk menutupi kenaikan harga pangan,” kata Al Kamran, pemimpin senior serikat garmen di Ashulia.
Bangladesh adalah salah satu eksportir garmen terbesar di dunia, dengan industri ini menyumbang 85 persen dari ekspor tahunan negara Asia Selatan itu senilai $55 miliar. Namun kondisinya sangat memprihatinkan bagi empat juta pekerja garmen di negara tersebut.
“Sekitar 15.000 pekerja bergabung dalam protes untuk kenaikan upah di beberapa tempat berbeda di Ashulia,” kata Mahmud Naser, wakil kepala polisi kawasan industri Ashulia, kepada kantor berita AFP.
Pemimpin serikat pekerja, Kamran, membantah angka-angka tersebut, dan melaporkan bahwa sekitar 50.000 pekerja di Ashulia saja telah mogok, dengan melonjaknya harga kebutuhan pokok sebagai pendorong utama.
Harga beberapa bahan makanan pokok, seperti kentang dan bawang, meningkat lebih dari dua kali lipat sejak tahun lalu dan “Sewa rumah juga melonjak. Satu-satunya yang tidak naik adalah gaji” kata Kamran.
Taslima Akter, ketua serikat pekerja Garmen Sramik Samhati, mengatakan kompensasi yang ditawarkan produsen “kurang dari apa yang diterima pekerja pada tahun 2017” setelah memperhitungkan inflasi dan depresiasi mata uang. [my/lt]