Kepolisian Daerah Metro Jaya telah melakukan pemeriksaan terhadap Kepala Sekolah Jakarta International School (JIS), Timothy Carr terkait kasus kekerasan seksual yang terjadi di sekolahnya.
JAKARTA —
Kepolisian Daerah Metro Jaya telah melakukan pemeriksaan terhadap Kepala Sekolah Jakarta International School (JIS) Timothy Carr terkait kasus kekerasan seksual terhadap siswa taman kanak-kanak yang dilakukan 6 orang tersangka dari petugas kebersihan di JIS. Kapolda Metro Jaya Inspektur Jendral Polisi Dwi Priyatno di Jakarta Selasa (29/4) menjelaskan, Timothy diperiksa masih dalam kapasitas sebagai saksi.
Kapolda Metro Jaya mengatakan, "Kepala Sekolah dan wali kelas sudah kita periksa. Pemeriksaan berkaitan dengan bagaimana mengelola JIS. Kemudian aspek keamanannya. Dan bagaimana pola pengajaran dan ekstra kurikulernya. Untuk sementara (Kepala Sekolah) masih diperiksa sebagai saksi."
Dwi Priyatno menambahkan, kepolisian juga siap berkoordinasi dengan pihak Interpol, terkait dengan dugaan kemungkinan adanya pelaku kekerasan seksual yang sudah meninggalkan Indonesia.
"Siapapun yang berbuat, orang asing sekalipun di wilayah hukum Indonesia tentunya apabila ada bukti kita akan proses penyidikan. Kalau yang bersangkutan pelaku tindak pidana sudah melarikan diri ke luar Indonesia, tentu kita minta bantuan Interpol," ungkap Dwi Priyatno.
Tidak menutup kemungkinan pihak penyidik lanjut Dwi, akan memeriksa guru-guru JIS yang lain. Namun menurutnya belum ada upaya pencekalan terhadap Kepala Sekolah dan para guru yang mengajar di JIS. Mengenai dugaan ada korban lain, pihaknya hingga kini masih menunggu laporan korban. Terutama korban kedua yang sudah melapor ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI).
Sementara itu, Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia Erlinda kepada VOA menyayangkan sikap JIS yang terkesan menutupi kasus kekerasan seksual terhadap anak yang diduga sudah berlangsung sejak lama. KPAI mensinyalir ada lebih dari 1 anak taman kanak-kanak JIS yang menjadi korban kekerasan seksual.
"Bahwa ada lebih dari 5 orang tersangka yang kedepannya bisa menambah para tersangka itu. dan ditambah lagi ada lebih dari 1 orang korban. Berdasarkan penuturan korban-korban yang mengadu ke pihak KPAI, mereka sudah melapor ke pihak JIS. Tapi yang sangat disayangkan pihak JIS tidak melapor ke pihak kepolisian, cenderung malah menutupi. Pihak JIS hanya melakukan hypnotherapy kepada para korban," ujar Erlinda.
Erlinda menduga ada kelompok terorgansir di dalam JIS yang memanfaatkan pengamanan ekstra ketat di JIS sehingga mereka dengan leluasa melakukan kekerasan seksual terhadap anak didik di JIS. KPAI tambah Erlinda tengah melakukan upaya pendampingan psikologis terhadap korban dan pihak keluarga.
"Kami sudah melakukan pendampingan psikologis berupa terapi dan program trauma healing yang 1 paket terhadap korban dan keluarga korban. Kami juga memberikan parenting kepada keluarga, bagaimana mencegah agar anak-anak terhindar dari kekerasan seksual," tambahnya.
Kejanggalan Kurikulum Pedidikan di JIS
Sementara itu, setelah menutup taman kanak-kanak JIS, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan menemukan sejumlah kejanggalan atas proses belajar mengajar di JIS. Dirjen Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Kemendikbud Lydia Freyani Hawadi mengatakan pihaknya menemukan sejumlah kejanggalan kurikulum pendidikan di JIS. Salah satunya adalah pengajaran di taman kanak-kanak yang diberikan JIS tidak jelas.
"Bahwa surat persetujuan izin belajar berlaku selama siswa didik mengikuti pendidikan. Diantaranya mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianut oleh anak didik dan diajarkan oleh guru yang seagama. Yang lain adalah mendapatkan pendidikan kewarganegaraan. Nah ini, mereka (orang tua murid) mengaku tidak diberikan. Jadi tidak ada guru agama dan tidak diajarkan agama," ungkap Lydia.
Lydia Freyani menambahkan, dari hasil investigasi, pihaknya juga menemukan JIS tidak mengajarkan mata pelajaran Bahasa Indonesia dan Sejarah Indonesia. Padahal menurutnya sekolah internasional yang berdiri di suatu negara harus mempelajari bahasa dan sejarah negara tersebut.
JIS menurut Lydia juga tidak mempekerjakan tenaga pengajar dari Indonesia. Padahal, JIS juga menerima anak didik yang berkewarganegaraan Indonesia.
Sebelumnya, tim investigasi Kemendikbud menemukan beberapa pelanggaran di JIS. Diantaranya adalah tenaga pendidik di JIS yang tidak memiliki izin mengajar dari kemendikbud dan idak ada laporan mengenai siswa yang merupakan warga keturunan.
Kapolda Metro Jaya mengatakan, "Kepala Sekolah dan wali kelas sudah kita periksa. Pemeriksaan berkaitan dengan bagaimana mengelola JIS. Kemudian aspek keamanannya. Dan bagaimana pola pengajaran dan ekstra kurikulernya. Untuk sementara (Kepala Sekolah) masih diperiksa sebagai saksi."
Dwi Priyatno menambahkan, kepolisian juga siap berkoordinasi dengan pihak Interpol, terkait dengan dugaan kemungkinan adanya pelaku kekerasan seksual yang sudah meninggalkan Indonesia.
"Siapapun yang berbuat, orang asing sekalipun di wilayah hukum Indonesia tentunya apabila ada bukti kita akan proses penyidikan. Kalau yang bersangkutan pelaku tindak pidana sudah melarikan diri ke luar Indonesia, tentu kita minta bantuan Interpol," ungkap Dwi Priyatno.
Tidak menutup kemungkinan pihak penyidik lanjut Dwi, akan memeriksa guru-guru JIS yang lain. Namun menurutnya belum ada upaya pencekalan terhadap Kepala Sekolah dan para guru yang mengajar di JIS. Mengenai dugaan ada korban lain, pihaknya hingga kini masih menunggu laporan korban. Terutama korban kedua yang sudah melapor ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI).
Sementara itu, Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia Erlinda kepada VOA menyayangkan sikap JIS yang terkesan menutupi kasus kekerasan seksual terhadap anak yang diduga sudah berlangsung sejak lama. KPAI mensinyalir ada lebih dari 1 anak taman kanak-kanak JIS yang menjadi korban kekerasan seksual.
"Bahwa ada lebih dari 5 orang tersangka yang kedepannya bisa menambah para tersangka itu. dan ditambah lagi ada lebih dari 1 orang korban. Berdasarkan penuturan korban-korban yang mengadu ke pihak KPAI, mereka sudah melapor ke pihak JIS. Tapi yang sangat disayangkan pihak JIS tidak melapor ke pihak kepolisian, cenderung malah menutupi. Pihak JIS hanya melakukan hypnotherapy kepada para korban," ujar Erlinda.
Erlinda menduga ada kelompok terorgansir di dalam JIS yang memanfaatkan pengamanan ekstra ketat di JIS sehingga mereka dengan leluasa melakukan kekerasan seksual terhadap anak didik di JIS. KPAI tambah Erlinda tengah melakukan upaya pendampingan psikologis terhadap korban dan pihak keluarga.
"Kami sudah melakukan pendampingan psikologis berupa terapi dan program trauma healing yang 1 paket terhadap korban dan keluarga korban. Kami juga memberikan parenting kepada keluarga, bagaimana mencegah agar anak-anak terhindar dari kekerasan seksual," tambahnya.
Kejanggalan Kurikulum Pedidikan di JIS
Sementara itu, setelah menutup taman kanak-kanak JIS, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan menemukan sejumlah kejanggalan atas proses belajar mengajar di JIS. Dirjen Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Kemendikbud Lydia Freyani Hawadi mengatakan pihaknya menemukan sejumlah kejanggalan kurikulum pendidikan di JIS. Salah satunya adalah pengajaran di taman kanak-kanak yang diberikan JIS tidak jelas.
"Bahwa surat persetujuan izin belajar berlaku selama siswa didik mengikuti pendidikan. Diantaranya mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianut oleh anak didik dan diajarkan oleh guru yang seagama. Yang lain adalah mendapatkan pendidikan kewarganegaraan. Nah ini, mereka (orang tua murid) mengaku tidak diberikan. Jadi tidak ada guru agama dan tidak diajarkan agama," ungkap Lydia.
Lydia Freyani menambahkan, dari hasil investigasi, pihaknya juga menemukan JIS tidak mengajarkan mata pelajaran Bahasa Indonesia dan Sejarah Indonesia. Padahal menurutnya sekolah internasional yang berdiri di suatu negara harus mempelajari bahasa dan sejarah negara tersebut.
JIS menurut Lydia juga tidak mempekerjakan tenaga pengajar dari Indonesia. Padahal, JIS juga menerima anak didik yang berkewarganegaraan Indonesia.
Sebelumnya, tim investigasi Kemendikbud menemukan beberapa pelanggaran di JIS. Diantaranya adalah tenaga pendidik di JIS yang tidak memiliki izin mengajar dari kemendikbud dan idak ada laporan mengenai siswa yang merupakan warga keturunan.