Analis mengatakan ekstrimis di Indonesia menggunakan dalih solidaritas terhadap Muslim di Burma untuk melakukan kekerasan di Indonesia.
BANGKOK —
Seorang analis terorisme mengatakan tertangkapnya dua orang yang diduga berencana mengebom Kedubes Busma di Jakarta menunjukkan kerusuhan sektarian Burma telah menyebar ke luar negara itu dan, jika dibiarkan, bisa semakin mendorong ekstremis.
Truk-truk polisi dikerahkan ke sekitar kedutaan Burma di Jakarta hari Jumat setelah polisi berhasil mencegah apa yang bisa menjadi serangan mematikan.
Unit elit anti teror Kamis malam menangkap dua laki-laki bersenjata bahan peledak, yang diduga terkait jaringan teroris dan serangan baru-baru ini terhadap polisi.
Menurut polisi, kedua laki-laki itu mengakui berencana mengebom kedutaan Burma sebagai protes terhadap perlakuan Burma terhadap Muslim di negara itu.
Jurubicara kepolisian Brigadir Jenderal Boy Rafli Amar mengungkapkan polisi menyergap kedua tersangka ketika sedang mengendarai sepeda motor di Jakarta Pusat.
Menurut polisi, bahan-bahan eksplosif ditemukan pula di kediaman tersangka di mana pihak berwenang kemudian menangkap seorang perempuan dan seorang bayi.
Polisi tambahan juga dikerahkan ke rumah Dutabesar Burma untuk Indonesia.
Ekstremis Hizbut Tahrir Indonesia tahun lalu melancarkan aksi protes di depan kedutaan Burma dan menyerukan jihad.
Rohan Gunaratna mengepalai Pusat Penelitian Kekerasan Politik dan Terorisme Internasional di Singapura. Menurutnya, ekstremis Indonesia telah bertindak dengan dalih Muslim di Burma, yang juga dikenal sebagai Myanmar.
"Ada seruan terus menerus dari pimpinan teroris di Indonesia, termasuk Abu Bakar Ba'asyir, pemimpin JI (Jemaah Islamiyah) dan JAT (Jamaah Anshorut Tauhid), dua kelompok utama, untuk berjihad melawan Myanmar. Jadi, yang terjadi ini adalah tanggapan atas seruan Abu Bakar Ba’asyir, dan pimpinan teroris lain, bahwa mereka harus menyerang kepentingan Myanmar," kata Gunaratna.
Abu Bakar Ba'asyir sedang menjalani hukuman penjara 15 tahun karena mendanai terorisme. Dari penjara, ia menulis surat tahun lalu mengancam akan melancarkan perang jika Burma terus menganiaya Muslim Rohingya.
Rohingya adalah minoritas di negara bagian Rakhine, Burma barat yang tidak diakui sebagai warga negara, meskipun banyak dari mereka sudah tinggal di sana selama beberapa generasi. Mereka nyaris tidak punya hak dan dianggap oleh PBB sebagai salah satu minoritas paling tertindas di dunia.
Bentrokan sektarian antara penduduk Rakhine yang Budha dan Muslim Rohingya Juni dan Oktober lalu menewaskan 200 orang, sebagian besar di antaranya Rohingya.
Menurut Human Rights Watch, pejabat-pejabat, petugas keamanan dan biarawan Burma di Rakhine melakukan pembersihan etnis. Kelompok HAM menunjuk bukti kuburan massal yang mungkin telah digunakan untuk menyembunyikan jumlah Muslim yang lebih banyak yang dibunuh.
Kekerasan umat Budha terhadap Muslim sejak itu menyebar ke seluruh negara itu, dengan setidaknya 45 tewas dan banyak masjid, toko dan rumah dibakar habis.
Sementara itu, pihak berwenang Burma tidak menghentikan ekstremis Budha, termasuk sejumlah biksu senior, menyuarakan kebencian terhadap Muslim.
Gunaratna mengatakan Burma perlu mengatasi ketegangan ini sebelum kelompok teroris yang sudah lama mati mampu meraup dukungan rakyat dan membangun kembali kekuatan.
"Ada dua kelompok Rohingya yang bekerja sama dengan kelompok teroris Al Jamaa al-Islamiyah Indonesia, disebut Organisasi Solidaritas Rohingya dan Organisasi Nasional Rohingya Arakan. Sekarang ini, kedua kelompok itu beroperasi pada tingkat yang sangat rendah. Sangat penting masalah itu diselesaikan supaya kelompok-kelompok yang mengancam ini tidak hidup lagi,” papar Gunaratna
Komisi yang dibentuk pemerintah Burma pekan ini merekomendasi ditingkatkannya keamanan dan upaya mengasimilasi Muslim di negarabagian Rakhine guna mencegah kerusuhan lebih lanjut.
Tetapi laporan komisi itu tidak menyebut siapa yang bertanggungjawab atas kekerasan itu. Komisi itu juga dikecam karena menyalahkan, antara lain, tingginya angka kelahiran Muslim sebagai penyebab kekerasan sektarian tersebut.
Truk-truk polisi dikerahkan ke sekitar kedutaan Burma di Jakarta hari Jumat setelah polisi berhasil mencegah apa yang bisa menjadi serangan mematikan.
Unit elit anti teror Kamis malam menangkap dua laki-laki bersenjata bahan peledak, yang diduga terkait jaringan teroris dan serangan baru-baru ini terhadap polisi.
Menurut polisi, kedua laki-laki itu mengakui berencana mengebom kedutaan Burma sebagai protes terhadap perlakuan Burma terhadap Muslim di negara itu.
Jurubicara kepolisian Brigadir Jenderal Boy Rafli Amar mengungkapkan polisi menyergap kedua tersangka ketika sedang mengendarai sepeda motor di Jakarta Pusat.
Menurut polisi, bahan-bahan eksplosif ditemukan pula di kediaman tersangka di mana pihak berwenang kemudian menangkap seorang perempuan dan seorang bayi.
Polisi tambahan juga dikerahkan ke rumah Dutabesar Burma untuk Indonesia.
Ekstremis Hizbut Tahrir Indonesia tahun lalu melancarkan aksi protes di depan kedutaan Burma dan menyerukan jihad.
Rohan Gunaratna mengepalai Pusat Penelitian Kekerasan Politik dan Terorisme Internasional di Singapura. Menurutnya, ekstremis Indonesia telah bertindak dengan dalih Muslim di Burma, yang juga dikenal sebagai Myanmar.
"Ada seruan terus menerus dari pimpinan teroris di Indonesia, termasuk Abu Bakar Ba'asyir, pemimpin JI (Jemaah Islamiyah) dan JAT (Jamaah Anshorut Tauhid), dua kelompok utama, untuk berjihad melawan Myanmar. Jadi, yang terjadi ini adalah tanggapan atas seruan Abu Bakar Ba’asyir, dan pimpinan teroris lain, bahwa mereka harus menyerang kepentingan Myanmar," kata Gunaratna.
Abu Bakar Ba'asyir sedang menjalani hukuman penjara 15 tahun karena mendanai terorisme. Dari penjara, ia menulis surat tahun lalu mengancam akan melancarkan perang jika Burma terus menganiaya Muslim Rohingya.
Rohingya adalah minoritas di negara bagian Rakhine, Burma barat yang tidak diakui sebagai warga negara, meskipun banyak dari mereka sudah tinggal di sana selama beberapa generasi. Mereka nyaris tidak punya hak dan dianggap oleh PBB sebagai salah satu minoritas paling tertindas di dunia.
Bentrokan sektarian antara penduduk Rakhine yang Budha dan Muslim Rohingya Juni dan Oktober lalu menewaskan 200 orang, sebagian besar di antaranya Rohingya.
Menurut Human Rights Watch, pejabat-pejabat, petugas keamanan dan biarawan Burma di Rakhine melakukan pembersihan etnis. Kelompok HAM menunjuk bukti kuburan massal yang mungkin telah digunakan untuk menyembunyikan jumlah Muslim yang lebih banyak yang dibunuh.
Kekerasan umat Budha terhadap Muslim sejak itu menyebar ke seluruh negara itu, dengan setidaknya 45 tewas dan banyak masjid, toko dan rumah dibakar habis.
Sementara itu, pihak berwenang Burma tidak menghentikan ekstremis Budha, termasuk sejumlah biksu senior, menyuarakan kebencian terhadap Muslim.
Gunaratna mengatakan Burma perlu mengatasi ketegangan ini sebelum kelompok teroris yang sudah lama mati mampu meraup dukungan rakyat dan membangun kembali kekuatan.
"Ada dua kelompok Rohingya yang bekerja sama dengan kelompok teroris Al Jamaa al-Islamiyah Indonesia, disebut Organisasi Solidaritas Rohingya dan Organisasi Nasional Rohingya Arakan. Sekarang ini, kedua kelompok itu beroperasi pada tingkat yang sangat rendah. Sangat penting masalah itu diselesaikan supaya kelompok-kelompok yang mengancam ini tidak hidup lagi,” papar Gunaratna
Komisi yang dibentuk pemerintah Burma pekan ini merekomendasi ditingkatkannya keamanan dan upaya mengasimilasi Muslim di negarabagian Rakhine guna mencegah kerusuhan lebih lanjut.
Tetapi laporan komisi itu tidak menyebut siapa yang bertanggungjawab atas kekerasan itu. Komisi itu juga dikecam karena menyalahkan, antara lain, tingginya angka kelahiran Muslim sebagai penyebab kekerasan sektarian tersebut.