Lembaga survei Polmark Indonesia menyatakan anggapan tentang politik uang yang menjadi penentu utama pemenangan pemilu di Indonesia tidak benar.
Hal tersebut berdasar pada kajian survei Polmark Indonesia dari 2012 hingga 2018, yang mencakup sebanyak 142 survei. Survei-survei tersebut menggunakan metode multistages random sampling dengan melibatkan sekitar 123 ribu orang.
Direktur Polmark Indonesia, Eep Saefulloh Fatah mengatakan, survei-survei tersebut menunjukkan adanya kecenderungan terbatasnya efektivitas politik uang. Efektivitas politik uang juga menunjukkan tren menurun di berbagai daerah di Indonesia.
"Dari berbagai survei yang dilakukan Polmark, tepatnya 142 survei nasional, provinsi, kabupaten/kota, kami temukan ada suatu gejala dimana politik uang tidak efektif. Sekalipun berita buruknya, politik uang relatif marak,” jelas Eep Saefulloh dalam diskusi di Hotel Veranda Jakarta, Selasa (18/9).
“Jadi, datanya menunjukkan bahwa penerimaan uang terjadi oleh pemilih, tapi dampak secara elektoral terhadap pilihan mereka sangat rendah. Jadi kalau pertanyaannya marak atau tidak? relatif marak. Apakah efektif atau tidak? cenderung tidak efektif," ujar Eep.
Eep menambahkan pemilih di berbagai daerah di Indonesia kini juga semakin mandiri secara politik. Menurutnya, pemilih tidak banyak terpengaruh oleh ketokohan berskala besar atau nasional dalam menentukan pilihan.
Survei-survei PolMark Indonesia juga menunjukkan bahwa umumnya pemilih cenderung membentuk pilihannya dalam lingkungan berskala sangat kecil berbasis diri, keluarga dan pertetanggaan. Kata Eep, gejala-gejala tersebut menegaskan adanya dinamika yang cenderung sehat di kalangan pemilih Indonesia.
Menanggapi itu, pengamat politik Rocky Gerung mengatakan hasil riset ini akan berdampak pada kerja-kerja partai politik mendatang. Sebab, ujarnya, politik uang dan nama besar tokoh yang selama ini diyakini banyak kalangan, ternyata tidak benar.
"Itu tantangan buat mereka yang mengajukan tema kampanye segala macam. Jadi implikasi dari riset ini, panjang lebar, baik terhadap kultur politik maupun terhadap tradisi dalam memutuskan model-model kampanye," jelas Rocky Gerung.
Rocky menambahkan riset ini juga dapat digunakan korporasi yang selama ini menyumbang kepada calon pemimpin dalam pendanaan agar tidak terpaku dengan uang dan nama besar.
Sementara itu, mantan anggota Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Valina Singka Subekti, mengatakan riset Polmark merupakan kabar bagus bagi demokrasi di Indonesia. Kendati demikian, ia mengingatkan perlunya peningkatan pengawasan pemilu, terutama pada penghitungan di tingkat Panitia Pengawas Kecamatan (PPK).
Dalam Laporan Kinerja (LAKIN) 2017, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menunjukkan bahwa terdapat 434 teradu atau penyelenggara pemilu, 88 persen, yang diperiksa dan diputus DKPP terkait perkara Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Sisanya, diperiksa karena aduan terkait non pemilu dan pemilihan legislatif (pileg).
Dari total jumlah yang diperiksa, sebanyak 276 orang penyelenggara telah direhabilitasi karena aduan yang dilaporkan tak terbukti. Sebanyak 135 lainnya mendapat sanksi peringatan, 19 orang diberhentikan sementara, 50 orang diberhentikan tetap, dan 8 orang diberhentikan dari jabatan ketua.
"Biasanya kecurangan itu paling banyak di PPK. Kalau TPS oke karena terbuka semua, tapi saksi kadang tidak mengerti mereka harus pegang dokumen mana,” kata Valina.
“Jadi harus dokumen otentik yang mesti dipegang saksi. Dan itu dibawa ketika pergi ke PPK pada waktu direkap. Jadi kalau ada perselisihan, saksi bisa mempersoalkan," imbuh Valina.
Selain peningkatan pengawasan unsur partai politik, menurut Valina, masyarakat juga dapat turut berpartisipasi dalam penghitungan suara. Sehingga kecurangan terhadap hasil penghitungan suara pada pemilu mendatang dapat diminimalisir.
Your browser doesn’t support HTML5
Lalu bagaimana pandangan masyarakat Jakarta tentang politik uang. Simak penuturan Annisa dan Suherman berikut ini.
"Jelas tidak diterima karena itu termasuk pelanggaran ya, money politik. Bahkan kalau bisa, kalau misalkan nemu, kita laporkan saja ke petugas yang berwenang," jelas Annisa.
"Kalau yang ngasih duit, duit sih pasti diterima. Tapi sudah pasti orangnya tidak benar gitu saja. Kalu coblos pilihan sendiri, kalau duit itu kan rezeki," tutur Suherman. [ahmad bhagaskoro/em]