Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan kondisi pandemi COVID-19 di tanah air terus membaik. Hal ini, katanya,tercermin dari kasus konfirmasi positif COVID-19 yang berdasarkan indikator dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sudah masuk dalam level 1 yakni di bawah 20 kasus konfirmasi per 100 ribu penduduk per minggu.
“Tiga indikator kapasitas respons dari satu negara terhadap pandemi ini sudah menurun dengan cukup drastis. Positivity rate-nya sudah ke batas normalnya WHO di bawah lima persen, tracing-nya juga sudah jauh lebih membaik, sekarang sudah mendekati yang di standarkan oleh WHO yaitu di atas 15 kemudian, BOR rumah sakit sudah kembali titik normal yaitu 17,14 persen,” ungkap Budi dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi IX DPR RI beberapa waktu lalu.
Budi menjelaskan, kasus konfirmasi positif COVID-19 di banyak provinsi sudah masuk ke dalam kategori normal atau level 1. Hanya beberapa provinsi yang tercatat masih memiliki kasus konfirmasi positif relatif tinggi, seperti Bangka Belitung, Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara. Beberapa provinsi, menurutnya juga, masih mencatat tren rawat inap tinggi, termasuk Kepulauan Riau, Aceh, Kalimantan Utara, Bangka Belitung, Sumatera Utara, dan Sulawesi Tengah.
“Untuk tingkat kematian, sebagian besar sudah masuk ke level normal, yang masih ada tinggi adalah Aceh, Riau, Bangka Belitung, Sulawesi Tengah, Bali, Jogjakarta, Kalimantan Utara, dan Kalimantan Timur,” katanya.
Strategi Penguatan Pandemi COVID-19
Guna mempertahankan kondisi pandemi yang sudah membaik ini, pemerintah akan terus mempertahankan empat strategi utama, yakni protokol kesehatan; deteksi (yang mencakup testing, tracing dan isolasi); vaksinasi; dan perawatan atau theurapetic.
Pihaknya pun tetap mewaspadai berbagai mutasi virus corona yang berpotensi menimbulkan gelombang ketiga. Belajar dari menyebarnya varian delta yang menyebabkan kenaikan kasus yang eksponansial, pemerintah akan memperketat pintu masuk ke Indonesia dan memperkuat surveillance genomic untuk mendeteksi lebih awal keberadaan varian baru tersebut. Pihak Kemenkes, katanya, saat ini sedang mengamati tiga varian baru (Lamda, Mu dan C.1.2) dan berusaha mencegah varian-varian itu masuk ke tanah air.
“Oleh karena itu, penting bagi kita untuk menjaga border kita, perbatasan, pintu masuk internasional, memperketat yang namanya entry dan exit test, dan termasuk juga mendisiplinkan proses karantina. Yang perlu dijaga adalah, kita bisa lihat pintu masuk kemarin yang delta, kita agak kebobolan karena kita lupa menjaga dari sisi lautnya, sehingga banyak kapal-kapal pengangkut barang yang masuk ke Indonesia dari India, krunya pada saat mendarat diijinkan turun sehingga menularkan. Kalau kita lihat, dari sisi pintu masuk udara, memang tesnya relatif lebih baik, jadi entry test-nya dilakukan lebih baik,” jelasnya.
Penurunan Positivity Rate di Tengah Minimnya Testing
Ahli Epidemiologi dari Universitas Griffith Australia Dicky Budiman tidak memungkiri kebijakan pengetatan yang dilakukan oleh pemerintah seperti Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) per level berdampak pada penurunan kasus konfirmasi positif corona di tanah air.
Namun menurutnya, intervensi berupa testing, tracing dan isolasi perlu diperkuat di seluruh provinsi hingga tingkat kabupaten/kota. Ia melihat intervensi tersebut di banyak wilayah masih lemah.
Ia juga mempertanyakan klaim positivity rate di bawah lima persen, mengingat jumlah tes PCR di Indonesia masih relatif rendah. Ia juga meragukan klaim tersebut karena angka kematian akibat corona di Indonesia tercatat masih tertinggi di ASEAN, yakni 4,4 persen.
Berdasarkan catatannya, pada 22 Agustus, pemerintah melakukan 31 ribu tes PCR dan positivity rate yang terdeteksi adalah 26 persen; pada1 September, pemerintah melakukan 38 ribu tes dan positivity rate yang terdeteksi adalah 18 persen pada 10 September, pemerintah melakukan 39 ribu tes PCR dan positivity rate yang terbaca adalah 9,5 persen.
“Dan bahkan satu hari setelahnya drastis lagi menurun menjadi 3,5 persen dengan testing yang juga nggak meningkat, yakni 40 ribu tes PCR. Sekarang, 12 September, tes PCR-nya menurun menjadi 37 ribu dan positivity rate-nya 8,3 persen. Logikanya begini karena ini semua harus bisa dijelaskan secara ilmiah, tanpa ada intervensi testing, tracing yang memadai terutama di isolasi karantina yang kuat maka penurunan positivity rate ini akan menjadi lemah dan bahkan membahayakan, karena bisa jadi semu,” ungkapnya kepada VOA.
Menurut Dicky, cakupan vaksinasi COVID-19 juga belum merata di seluruh Indonesia, baik untuk dosis pertama maupun dosis kedua, terutama untuk lansia. Dicky mengatakan, pemerintah perlu mencari tahu permasalahan di setiap pelosok daerah di tanah air, agar perbaikan kondisi pandemi COVID-19 di Indonesia bisa merata dan dipertahankan.
Your browser doesn’t support HTML5
"Jadi data nasional yang baik ini harus dilihat karena kontribusinya bisa saja dari Jabodetabek yang bagus, selama ini yang bagus mayoritas dari situ. Kalau diturunkan lagi ke pronvinsi lalu ke kabupaten/kota ini yang akan makin terlihat. Jadi ya belum bisa dianggap kita dalam kondisi aman, karena selain bahwa ini di tengah testing yang rendah, juga ini naik turun. Jadi harus konsisten setidaknya dua minggu dengan didukung oleh testing yang memadai. Jadi ya bisa disebut masih abu-abu,” pungkasnya. [gi/ab]