PPATK: Banyak Transaksi di Rekening Dana Kampanye Saat Minggu Tenang 

  • Fathiyah Wardah

Orang-orang duduk di depan mural kampanye pemilihan umum di Banda Aceh, Aceh pada 17 Maret 2019. (Foto: Chaideer Mahyuddin/AFP)

Politik uang selalu membayangi pelaksanaan pemilihan umum dengan menggunakan sejumlah modus. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menjelaskan sejumlah modus tersebut. 

Politik uang menjadi salah satu ancaman serius pada pelaksanaan pemilihan umum. Berbagai antisipasi terus diupayakan, salah satunya Polri yang akan membentuk Satuan Tugas Anti Politik Uang yang bekerja sama dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan berbagai pihak lain termasuk lembaga penyelenggara pemilu.

Dalam Forum Diskusi Sentra Penegakan Hukum Terpadu, Kepala PPATK Ivan Yustiavandana, memetakan sejumlah kejanggalan yang terindikasi sebagai praktik politik uang yang terjadi selama pemilu 2019. Hal ini sebagai langkah antisipasi dan untuk pencegahan pada pemilu yang akan datang.

Di antara kejanggalan yang disampaikannya, yaitu tingginya permintaan penukaran uang pecahan Rp50 ribu dan Rp100 ribu saat masa tenang atau selama tiga hari sebelum tiba waktu pemungutan suara. Di Jakarta saja, jumlah permintaan penukaran pecahan uang mencapai Rp113 miliar.

BACA JUGA: Tidak Ada Parpol yang Terbuka Soal Akuntabilitas Dana Parpol

Transaksi tersebut tercatat dalam rekening khusus dana kampanye (RKDK) para peserta pemilu. Sebaliknya, menurut RKDK peserta pemilu, transaksi yang tercatat selama masa kampanye justru lebih rendah dibanding saat masa tenang. Di sini, terjadi anomali bahwa ketika aktivitas kampanye sedang tinggi-tingginya, transaksi keuangan terkait pemilu yang terekam dalam RKDK malah cenderung statis. Karena itu, Ivan curiga penggunaan RKDK sebatas formalitas untuk memenuhi aturan perundang-undangan. Sementara kampanye dibiayai sumber lain atau tidak tercatat.

Berdasarkan hasil riset PPATK selama 2013-2019, salah satu temuannya adalah uang hasil kejahatan lingkungan senilai Rp1 triliun yang masuk ke partai politik. Ivan juga menambahkan tidak ada rekening dari peserta pemilihan umum yang tidak terpapar uang kejahatan, paling tidak berpotensi untuk terpapar, atau ada indikasi terpapar.

Dia menambahkan ada empat provinsi yang berisiko absolut terjadi uang hasil kejahatan masuk dalam rekening khusus dana kampanye, yakni Sumatera Barat, DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Timur.

Wakil Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Basariah Panjaitan (kiri) bersama sejumlah penyidik KPK menunjukkan uang tunai yang disita dari anggota DPR menjelang pelaksanaan pemilihan umum, 28 Maret 2019. (Foto: Dessy Sagita/AFP)

Selain itu, Ivan juga menjelaskan perihal modus politik yang lain di antaranya penampungan dana operasional pemilu ke dalam rekening pribadi penyelenggara atau pengawas pemilu. Sumbangan dana pemilu bersumber dari badan usaha milik daerah dan sumbangan dana pemilu berasal dari pengusaha yang terkait indikasi tindak pidana pencucian uang (TPPU).

Laporan transaksi mencurigakan terkait pemilihan umum tertinggi adalah di DKI Jakarta, yaitu lebih dari Rp540 triliun, disusul Jawa Timur sebesar lebih dari Rp367 triliun. Secara keseluruhan transaksi mencurigakan di 34 provinsi senilai total Rp 1.147 triliun.

Menurut Ivan, untuk melihat seberapa bersih sebuah kontestasi politik itu dalam perspektif PPATK adalah bagaimana transaksi itu dilakukan oleh rekening khusus dana kampanye (RKDK).

"Misalnya, pada saat pembukaan RKDK, transaksinya flat saja. Pada masa kampanye, mulai masuk tuh uang banyak, transaksi mulai banyak. Yang paling banyak transaksi itu adalah pada masa minggu tenang. Pertanyaannya, kalau minggu tenang banyak transaksi, lalu uangnya buat apa?" kata Ivan.

BACA JUGA: Hasil Penelitian: Perempuan Paling Rentan Terlibat Praktik Politik Uang

Titi Anggraini dari Dewan Pembina Perkumpulan untuk pemilihan Umum dan Demokrasi (Perludem) mengatakan dibutuhkan kerangka hukum pemilu yang demokratis dan membutuhkan pengaturan yang memastikan kompetisi adil dan setara. Selama ini, lanjut Titi, dana kampanye yang tidak seimbang antara realitas dan pelaporan resmi selalu terjadi saat pemilu.

Di Indonesia, kata Titi, uang semakin menentukan dari pemilihan umum ke pemilihan umum. Batasan sumbangan dana kampanye makin besar. Untuk individu maksimum Rp 2,5 miliar, sedangkan badan hukum privat paling tinggi Rp 25 miliar.

Yang menjadi tantangan lainnya adalah masa kampanye yang cuma 75 hari atau pendek sedangkan jumlah calon yang akan bertarung sekitar 300 ribu orang, sehingga bisa memunculkan pragmatisme.

“Jangan-jangan tadi aktivitas yang naiknya drastis meroket di masa kampanye, itu kemudian akan menjadi fenomena kembali di 2024 karena pragmatism muncul, masa kampanye pendek, kompetisi kompetitif, masuk parlemen makin sulit,” kata Titi.

Seorang perempuan bersepeda melewati bendera partai politik jelang Pemilu 2019 di Banda Aceh, 23 Maret 2019. (Foto: AFP/CHAIDEER MAHYUDDIN)

Mengutip data dari Global Corruption Barometer, Titi menyebutkan Indonesia menempati peringkat ketiga setelah Thailand dan Filipina dari 17 negara di Asia yang paling terpapar politik uang. Satu dari tujuh pemilih pernah ditawari uang untuk ditukar dengan suara.

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD menekankan pemilihan umum merupakan salah satu implementasi yang paling penting dalam pelaksanaan demokrasi.

"Untuk itu, maka kita harus mengantisipasi agar tidak terjadi pelanggaran-pelanggaran yang bisa membatalkan dan menodai pelaksanaan pemilu (pemilihan umum). Oleh sebab itu, antara lain perangkat hukum kita menentukan perlunya ada penegakan hukum secara terpadu," ujar Mahfud.

Your browser doesn’t support HTML5

PPATK: Banyak Transaksi di Rekening Dana Kampanye Saat Minggu Tenang

Mahfud menjelaskan beberapa penyakit dari pemilihan umum yang harus diantisipasi dari sekarang adalah sering terjadinya politik uang, yakni upaya memenangkan kontestasi melalui pembelian dukungan. Hasil penelitian dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan kasus korupsi naik sejalan dengan pelaksanaan pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah.

Menurutnya, penegakan hukum secara terpadu diperlukan karena demokrasi harus dikawal oleh nomokrasi. Demokrasi adalah proses untuk mencari menang, sedangkan nomokrasi adalah proses untuk mencari benar. [fw/ft]