Dari sekian banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan itu, lembaga kepresidenan dan partai politik adalah dua di antaranya.
Sepanjang pelaksanaan pemilu 2024 ini, banyak pihak menilai Presiden Joko Widodo menunjukkan kekuasaan yang sangat besar. Karena itulah, salah satu fokus gugatan dua pasangan calon yang kalah di Mahkamah Konstitusi, adalah soal campur tangan presiden dan pemerintah, dan dianggap membantu pasangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka menang.
Indonesia sudah memiliki rancangan undang-undang (RUU) Lembaga Kepresidenan yang disusun sejak 2001. Namun selama 23 tahun, proses pembahasannya terhenti.
Ignasius Lintang Nusantara, Presiden Constitutional Law Society, Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, mengatakan aturan hukum ini penting untuk membatasi kekuasaan presiden. Lintang setuju, presiden di Indonesia selama ini terlalu kuat.
“Pada hakikatnya, kekuasaan itu kan tidak ingin dibatasi. Itulah yang akhirnya mendegradasi nilai-nilai negara republik demokrasi. Negara ini adalah negara republik demokrasi, bukan negara monarki terselubung. Jika kita mengamini, negara ini berbentuk republik demokrasi, kekuasaan yang tidak terbatas itu harusnya dibatasi,” kata Lintang kepada VOA.
Lintang menegaskan pembatasan kekuasaan itu untuk menjamin hak asasi manusia.
RUU Lembaga Kepresidenan adalah refleksi, lanjut Lintang, karena dalam setiap proses peralihan rezim, ada kesan tidak mau melakukan pembatasan kekuasaan presiden.
Ada semacam keyakinan sosial di tengah masyarakat Indonesia, bahwa pemimpin adalah tokoh yang bijak dan arif, atau sosok negarawan. Masyarakat percaya, seorang presiden menggunakan kekuasaannya dengan baik. Sayangnya, setidaknya yang terjadi dalam proses pemilu 2024 lain, ada anggapan kuat bahwa kebijaksanaan itu tidak muncul.
“Presiden tidak bisa memenuhi ekspektasi masyarakat kita sebelumnya,” kata dia.
Meski tidak ada undang-undang (UU) yang mengaturnya, masyarakat yakin presiden mampu bertindak sesuai rambu-rambu, termasuk penerapan etika. Keyakinan itu keliru, dan karena itulah perlu ada aturan ketat yang membatasi, apa yang bisa dilakukan dan tidak bisa dilakukan presiden.
BACA JUGA: Perludem: MK Masih Menjadi Mahkamah KalkulatorRUU Lembaga Kepresidenan yang disusun 2001, membutuhkan sejumlah penyesuaian. Pemilu 2024 seharusnya mendorong Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), memperluas cakupan terkait pembatasan kewenangan seorang presiden. RUU itu sendiri lahir karena Indonesia belajar dari kekuasaan Soeharto selama 32 tahun.
Panca reformasi, banyak pihak menyadari lembaga kepresiden tidak diatur khusus, sehingga Soeharto begitu berkuasa. Namun hingga saat ini, 23 tahun setelah digagas, RUU Lembaga Kepresidenan tidak tersentuh.
Pendapat Hakim MK
Meski keputusan akhir Mahkamah Konstitusi (MK) menolak semua gugatan terkait kemenangan Prabowo-Gibran, ada sejumlah pendapat berbeda yang layak dicermati. Hakim anggota Arief Hidayat, misalnya, menyampaikan empat butir pendapatnya dalam apa yang disebut sebagai dissenting opinion atau pendapat berbeda hakim MK.
Arief mengingatkan bahwa demokrasi Indoensia adalah demokrasi Pancasila yang didasarkan pada nilai-nilai luhur Pancasila.
“Sebab negara kita tidak hanya harus disenggarakan sesuai dengan prinsip rule of law, tetapi juga prinsip rule of ethics,” kata dia.
BACA JUGA: Prabowo Resmi Ditetapkan Sebagai Presiden oleh KPU, Bagaimana Nasib Kebebasan Sipil dan HAM di Indonesia?Karena itu, Arief meminta penerapan prinsip rule of ethics bagi semua penyelenggaraan negara.
“Sehingga penyimpangan etika dalam penyelenggaraan negara dapat dihindari, khususnya cawe-cawe presiden dalam pemilu di masa-masa yang akan datang, yang tidak hanya merupakan tindakan abuse of power, tapi juga abuse of ethics,” papar dia.
Arief juga menyinggung perlunya dibuat Undang-Undang Lembaga Kepresidenan yang memuat secara terperinci, detail, uraian tugas pokok dan fungsi presiden sebagai kepala negara, sekaligus sebagai kepala pemerintahan.
Pembenahan Partai Politik
Pada sisi yang berbeda, pekerjaan rumah besar Indonesia pasca kemenangan Prabowo-Gibran kali ini, adalah pembenahan partai politik.
Partai politik menjadi rahim untuk proses kelahiran pemimpin negara, termasuk presiden.
“Ada sebuah proses di mana partai-partai politik itu menjadi penentu utama dalam menentukan kekuasaan. Jadi partai-partai itulah ya kemudian menjadi hub atau menjadi saluran utama bagi siapapun yang akan mendapatkan jabatan politik Indonesia,” kata pengamat politik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Tunjung Sulaksono.
Semua anggota DPR merupakan anggota partai, yang untuk mencalonkan diri membutuhkan izin partai. Lebih dari 99 persen pemimpin daerah maju atas rekomendasi partai.
“Kalam konteks presiden juga seperti itu. Dalam Undang-Undang (UU) Pemilu, calon presiden hanya bisa diusulkan oleh partai. Semua itu menunjukkan bahwa partai menjadi aktor yang sangat menentukan merah-hitamnya politik suatu negara, termasuk di Indonesia, pasca reformasi,” tambah Tunjung.
Sayangnya, lanjut dia, partai di Indonesia baru menempuh separuh, dari perjalanan yang semestinya dia lalui.
Partai dibentuk untuk memperoleh kekuasaan, kata Tunjung. Namun, jika berhenti di titik itu, baru separuh perjalanan dilakukan. Separuh sisanya, adalah bagaimana menggunakan kekuasaan itu.
“Partai kemudian berhenti, ketika sudah dapat kekuasaan. Ya sudah, kekuasaan itu kemudian mereka nikmati sendiri, untuk diri mereka untuk golongannya. Saya khawatir, partai baru belajar sampai tahap itu. Padahal seharusnya kekuasaan itu dikembalikan untuk bonum publikum, kebaikan seluruh masyarakat,” lanjut Tunjung.
Dalam sistem di mana partai politik baru berjalan separuh jalan, demokrasi berlaku tanpa peran rakyat. Sepenuhnya, sistem itu digerakkan oleh politisi, untuk kepentingan mereka sendiri.
Proses pemilu 2024 bisa menggambarkan kekhawatiran Tunjung itu. Ketika UU diubah untuk mengakomodasi kepentingan, partai politik berarti berorientasi kepada kekuasaan.
Your browser doesn’t support HTML5
Tunjung setuju, ada persoalan etika yang tidak disentuh. Problem mendasarkan adalah karena partai tidak memiliki ideologi. Padahal, ideologilah yang membedakan partai. Pada situasi partai tanpa ideologi, sebenarnya rakyat Indonesia tidak memiliki pilihan, karena muara semua partai akan sama, yaitu kekuasaan.
“Sehingga susah kalau masyarakat diminta bersikap rasional dalam memilih. Rasional itu, kandidat satu harus lebih baik dibandingkan kandidat lain. Ini tidak ada bedanya, semuanya sama,” tegas Tunjung.
Wajar jika kemudian, muncul penilaian dan peringatan, baik dari dalam maupun luar negeri, bahwa demokrasi Indonesia mengalami kemunduran.
“Dan warning itu tampaknya tidak benar-benar diperhatikan serius oleh pemerintah. Pemerintah terus berupaya menarik minat masyarakat untuk terlibat atau seolah-olah terlibat dalam proses demokrasi. Padahal sebetulnya tidak, karena yang bermain hanyalah elit dan oligarki,” ujarnya.