Prabowo: Indonesia Tidak Boleh Jadi Kacung Negara Manapun

Presiden Prabowo Subianto menyampaikan pidato pada upacara pelantikan presiden di gedung DPR, Jakarta, Minggu, 20 Oktober 2024. (Tatan Syuflana/AP Photo)

Presiden Prabowo Subianto menegaskan posisi Indonesia yang menganut politik bebas aktif. Ia menyatakan, Indonesia ingin menjadi sahabat dan mitra yang baik, tetapi tidak mau disetir atau diatur oleh negara manapun.

Prabowo menyampaikan pernyataan tersebut dalam acara Deklarasi Gerakan Solidaritas Nasional (GSN), di Jakarta, Sabtu (2/11).

“Kita ingin menjadi mitra yang baik, we want to be your friend, we want to be your partner, but we will not be your pion. Kita tidak akan menjadi kacung kalian. Rakyat Indonesia, rakyat merdeka, ingin hidup dengan terhormat,” ungkap Prabowo.

Sebelumnya ia menyinggung rencana kunjungan kerja ke luar negeri dalam waktu dekat, di antaranya ke KTT G20, KTT APEC serta memenuhi undangan dari pemerintah Amerika Serikat dan China. Prabowo berujar sebenarnya ia tidak suka melakukan kunjungan kerja ke luar negeri terlalu sering, mengingat ia juga menginstruksikan jajarannya untuk tidak terlalu sering melawat ke luar negeri.

“Saya sendiri sebetulnya, saya ini mau konsentrasi di dalam negeri. tapi salah satu kewajiban pertama harus berangkat ke APEC, ke G20, diundang juga ke China. Begitu diundang ke China, Amerika juga undang. Waduh ini dua kekuatan besar ngundang, ya nggak berani saya menolak. Demi rakyat saya harus berangkat ke situ,” tuturnya.

Presiden Rusia Vladimir Putin berbicara dengan Presiden Prabowo Subianto di Kremlin di Moskow, Rusia, 31 Juli 2024. (Grigory Sysoyev, Sputnik, Kremlin Pool Photo via AP)

Dalam kesempatan tersebut Prabowo meminta izin kepada rakyat untuk melakukan kunjungan kerja agar senantiasa tercipta hubungan yang baik dengan semua negara.

“Untuk rakyat saya juga harus berhubungan baik dengan semua negara karena Indonesia mengambil jalan 1000 kawan terlalu sedikit, satu lawan terlalu banyak. Pemimpin Indonesia harus menjaga bahwa Indonesia tidak terseret ke dalam pertikaian orang lain. Kita tidak mau terseret, kita tidak mau terlibat, kita hormati semua negara, untuk itu saya harus yakinkan mereka semua itu sikap kita. Kita hormati semua bangsa, hormati semua kekuatan,” tegasnya.

Ekonom Indef, Tauhid Ahmad, mengatakan kunjungan Prabowo ke Amerika Serikat kemungkinan salah satunya untuk menjelaskan langkah Indonesia yang ingin bergabung dengan BRICS. Menurutnya, pihak Amerika Serikat diperkirakan cukup terganggu dengan rencana itu,

Menteri Pertahanan Prabowo Subianto dan Menteri Pertahanan Amerika Serikat, Lloyd Austin melakukan penandatangan kerja sama pertahanan antara kedua negara pada Kamis (16/11) di Jakarta. (Pool AFP/Bay Ismoyo)

“Saya memandang isu lainnya Amerika tidak perlu khawatir Indonesia masuk ke BRICS. Jadi saya kira untuk menjelaskan posisi Indonesia, dan menegaskan bahwa itu jelas-jelas untuk kepentingan ekonomi. Walaupun mungkin sedikit kecewa mereka karena tujuan BRICS salah satunya adalah melakukan proses dedolarisasi agar mereka bisa menggunakan mata uang antarmegaranya untuk melawan dolar Amerika. Itu yang saya kira terganggunya seperti itu. kalau perdagangan saya kira normal, karena itu hal yang biasa sulit untuk dihalangi,” ungkap Tauhid.

Selain itu, Tauhid menilai kunjungan Prabowo ke Amerika Serikat juga untuk mengantisipasi kemungkinan meningkatnya tensi perang dagang antara Amerika dan China jika Donald Trump memenangkan pilpres Amerika Serikat. Ia menjelaskan, perang dagang yang meningkat di antara kedua negara dipastikan akan berdampak cukup signifikan kepada Indonesia.

“Jadi ketika trade war, barang China tidak bisa masuk ke Amerika ya otomatis ekonominya melemah, kalau melemah permintaan akan ekspor impor kita ke China juga melemah, apalagi ada barang-barang yang rantai pasoknya kita bagian dari itu," katanya.

"Saya kira daripada begitu maka di-approached agar suatu saat ketika terjadi trade war bisa dikasih kesempatan untuk mendapatkan special tariff agar bisa ekspor langsung, tapi problemnya tidak semua barang bisa masuk karena Amerika juga punya standar tinggi termasuk yang sifatnya non tarif. Saya kira itu akan dimanfaatkan,” imbuh Tauhid.

BACA JUGA: Analis: Latihan Militer Bersama Rusia Tunjukkan Perubahan Kebijakan Luar Negeri Indonesia

Sementara itu, peneliti hubungan internasional dari Center for Strategic and International Studies (CSIS), Andrew Mantong, mengatakan kunjungan kerja ke Amerika dan China dalam waktu yang berdekatan memang harus dilakukan. Langkah ini, katanya, menjadi bukti penyeimbang dari pemerintah Indonesia yang memang menganut kebijakan luar negeri yang bebas aktif.

“Dari sisi kepentingan nasional memang juga semakin tidak terelakan bahwa kita semakin dekat ke dua-duanya beberapa tahun ke belakang. Secara ekonomi makin dekat ke China secara militer atau pertahanan juga semakin dekat ke Amerika Serikat. Jadi untuk itulah maka kunjungan ini harus dilakukan secara bersamaan,” ungkap Andrew.

Meski begitu, di saat yang bersamaan Indonesia juga harus menggandeng negara-negara yang tergolong sebagai middle power di kawasan seperti Jepang dan Korea Selatan serta beberapa negara ASEAN lainnya mengingat adanya sejumlah masalah yang harus diselesaikan.

BACA JUGA: Akankah Prabowo Subianto Jadi Presiden 'Kebijakan Luar Negeri'?

“Jadi untuk Amerika dan China itu great power politics approach, tetapi untuk ASEAN masih dinanti, Prabowo mau ngapain itu masih belum kelihatan. Harapannya nanti ada kunjungan sendiri ke negara ASEAN, karena dampak dari geopolitiknya itu harus dihitung juga ke negara-negara di ASEAN, karena di ASEAN kita punya berbagai masalah yang cukup urgent misalnya Myanmar crisis, dan ketegangan yang meningkat di Laut China Selatan,” jelasnya.

Your browser doesn’t support HTML5

Prabowo: Indonesia Tidak Boleh Jadi Kacung Negara Manapun

Terkait Jepang dan Korea Selatan, menurut Andrew, kunjungan Prabowo dibutuhkan karena ada beberapa hal yang harus diklarifikasi. Dengan Korea Selatan, misalnya, soal seperti kejelasan investasi mobil Listrik, semenrara dengan Jepang dengan Korea Selatan, sementara dengan Jepang terkait fokus negara itu yang berubah.

“Tapi sekarang Jepang itu cenderung bergeser dari ekonomi ke militer terkait engagement-nya di kawasan, dan lebih fokus ke negara-negara yang dinilai sebagai sesama sekutu Amerika Serikat. Makanya kita harus menarik kembali Jepang supaya fokus, tetap sinkron dengan agenda kawasan terutama yang berkaitan dengan sentralitas ASEAN, kebutuhan untuk melakukan investasi, serta kebutuhan untuk melakukan integrasi ekonomi dan sebagainya,” katanya.

“Jadi, itulah yang menurut saya, OK lakukan kunjungan ke China dan Amerika. Dan itu menunjukkan adanya prioritas geopolitik yang cukup kental dari pemerintahan baru, tetapi jangan lupakan bahwa negara lain harus di-engaged,” pungkasnya. [gi/ab]