Ketika kerusuhan yang berlangsung selama seminggu di Prancis mereda, PBB dan beberapa organisasi hak asasi manusia internasional lainnya meminta pemerintah Prancis untuk mereformasi pasukan polisinya dan menghentikan praktik pemrofilan rasial yang kontroversial.
“Pemerintah harus mengambil tindakan segera untuk mereformasi sistem kepolisian,” kata enam organisasi hak asasi manusia termasuk Human Rights Watch dan Amnesty International dalam sebuah pernyataan pada hari Rabu (5/7).
“Ini adalah momen bagi negara tersebut untuk secara serius membahas isu rasisme dan dikriminasi yang mengakar dalam tubuh penegak hukum,” ujar Ravina Shamdasani, juru bicara Kantor Komisaris Tinggi untuk Urusan Hak Asasi Manusia PBB.
Seruan itu diulang setelah penembakan fatal terjadi pada 27 Juni lalu terhadap seorang remaja berusia 17 tahun, Nahel Merzouk, yang dilakukan oleh seorang petugas polisi di luar Kota Paris. Merzouk sendiri merupakan keturuna Algeria. Insiden tewasnya Merzouk memicu protes luas di hampir 200 kota di seluruh Prancis dalam seminggu terakhir.
“Pembunuhan terhadap Nahel adalah contoh lain dari efek rasisme sistemis,” ujar Amnesty International.
Otoritas Prancis membela polisi, dengan mengatakan rasisme tidak terjadi di jajaran mereka.
Menteri Ekonomi Prancis, Bruno Le Maire, mengatakan pada Selasa (4/7) lalu bahwa "tidak adil" jika mengatakan bahwa polisi Prancis itu rasis.
“Yang perlu kita ketahui adalah bahwa lebih dari seribu bisnis dirusak, hampir 500 toko tembakau, 400 bank, mal, toko olahraga, dan semua itu benar-benar porak poranda.”
Pemerintah Prancis mengerahkan 45.000 petugas polisi untuk meredakan kekacauan yang berlangsung. Lebih dari 3.400 orang ditangkap karena berbagai kejahatan, terutama penyerangan fisik dan vandalisme. Bisnis di Prancis menderita kerugian lebih dari $1 miliar yang disebabkan selama protes berlangsung, menurut perhimpunan bisnis Prancis. [ps/rs]