Ribuan warga negara Rusia, termasuk tentara, telah meninggalkan negara mereka untuk mencari suaka di Barat sejak invasi Rusia ke Ukraina pada pertengahan Februari 2022. Hanya sebagian kecil dari permohonan suaka yang disetujui.
Namun, dalam sebuah peristiwa penting, Prancis telah mengizinkan sejumlah tentara Rusia yang membelot untuk memasuki negara itu guna mendapatkan status pengungsi. Para aktivis anti-perang berharap hal ini akan mendorong lebih banyak tentara Rusia untuk melarikan diri.
Pelarian Alexander dan Irina
Alexander, yang tak mau menyebut nama keluarganya karena takut akan pembalasan politik, adalah salah seorang dari enam laki-laki Rusia dan empat rekannya yang diizinkan masuk ke Prancis dalam beberapa bulan terakhir. Ia dan istrinya, Irina, kini tinggal di kota Caen, Prancis, sembari menunggu keputusan pengadilan atas permohonan suaka mereka.
Pada Januari 2022, ketika Rusia sedang mempersiapkan invasi skala penuh ke Ukraina, Alexander mengatakan ia diberitahu untuk pergi ke Krimea, yang diduduki Rusia, untuk latihan militer. Dia tidak ingin pergi, tetapi diberitahu bahwa dia tidak punya pilihan.
Alhasil, unitnya menyeberangi perbatasan ke Ukraina sebagai bagian dari pasukan invasi.
“Saya secara pribadi sangat terkejut. Saya tidak mengerti apa yang sedang terjadi,” kata Alexander kepada kantor berita AFP dalam sebuah wawancara. “Kami baru saja menyeberangi perbatasan ke Ukraina. Saya menemui komandan saya dan bertanya, “Apa yang terjadi? Mengapa kita ada di sini? Mengapa kita melintasi perbatasan? Mengapa kita berada di wilayah negara lain?” ... Saya tidak mendapatkan jawaban atas pertanyaan saya.”
Alexander akhirnya berhasil melarikan diri dari pasukannya. “Saat itu, saya menyadari bahwa saya hanya punya dua pilihan: meninggalkan Rusia atau masuk penjara. Karena untuk kembali ke garis depan, saya tidak memiliki keinginan sedikit pun, atau merasa hal itu merupakan kewajiban moral sebagai tentara Rusia,” katanya.
“Mungkin, berkat teladan saya, seseorang akan terinspirasi dan ingin keluar dari militer. Semakin lemah pasukan di garis depan, semakin sedikit orang yang ada, semakin cepat perang akan berakhir dan Ukraina akan menang,” kata laki-laki berusia 26 tahun itu kepada AFP.
Tidak Ada Tempat Aman di Bekas Wilayah Soviet
Alexander dan Irina awalnya melarikan diri ke Kazakhstan, tempat mereka terhubung dengan orang-orang Rusia lainnya yang melarikan diri dari perang. Namun, banyak orang Rusia yang melarikan diri mengatakan mereka tidak merasa aman di negara-negara bekas Soviet. Para pembelot tentara terancam hukuman 10 tahun atau lebih, jika tertangkap dan dikembalikan ke Rusia.
Ian Bond, pakar Rusia dan wakil direktur Pusat Reformasi Eropa, mengatakan pengadilan Prancis pada tahun 2023 memutuskan bahwa orang Rusia yang menolak berperang dapat mengklaim status pengungsi, tetapi sebagian besar tak bisa pergi ke luar negeri untuk mengajukan permohonan suaka.
“Relatif mudah bagi orang Rusia untuk pergi ke negara-negara bekas Uni Soviet. Orang Rusia memiliki dua paspor - mereka memiliki paspor dalam negeri dan beberapa memiliki paspor asing. Khususnya bagi mereka yang sudah memasuki usia militer atau prajurit aktif, bahkan untuk mendapatkan paspor asing pun sangat sulit,” kata Bond kepada VOA.
Namun, Prancis memberikan izin kepada Alexander dan Irina, bersama delapan warga Rusia lainnya, untuk memasuki negara itu dan mengajukan permohonan suaka. Diyakini mereka tiba di Paris dengan penerbangan terpisah dari Kazakhstan tanpa paspor atau dokumen perjalanan, meskipun rincian perjalanan mereka belum dirilis.
“Ada beberapa cara yang bisa mereka lakukan untuk sampai ke Prancis, dan saya pikir mereka bukanlah pembelot Rusia pertama yang mendapatkan suaka di Barat. Namun, ini tampaknya merupakan kelompok yang lebih besar – dibandingkan pada masa lalu, saya pikir hanya ada beberapa individu yang tersebar,” jelas Bond.
Menyoroti Sikap Anti-Perang Para Pembelot
Keputusan ini diambil setelah berbulan-bulan advokasi dan kampanye oleh organisasi-organisasi seperti Russian-Libertes yang berbasis di Paris, yang mendorong orang-orang Rusia untuk meninggalkan pasukan militer. Kelompok-kelompok itu mengatakan bahwa para pembelot itu telah diperiksa dengan cermat atas sikap anti-perang mereka.
Olga Prokopieva, kepala Russie-Libertes, mengatakan keputusan Prancis untuk mengizinkan kelompok pembelot militer masuk ke negara itu “belum pernah terjadi sebelumnya” dan mendesak negara-negara Eropa lainnya untuk mengikutinya. “Kami telah melakukan pembicaraan selama satu tahun. Kami telah mencoba banyak hal,” katanya kepada AFP.
Namun, Prokopieva mengatakan kepada VOA melalui email tanggal 29 Oktober bahwa Rusia-Libertes tidak akan lagi mengomentari atau mempublikasikan kasus ini, yang merupakan indikasi sensitivitas permohonan suaka.
Get Lost, sebuah organisasi yang berbasis di Georgia yang membantu orang-orang Rusia yang melarikan diri dari negara mereka, mengklaim telah membantu lebih dari 38.000 orang, termasuk ribuan tentara. Organisasi ini juga membantu Alexander dan Irina, bersama dengan delapan warga Rusia lainnya yang diizinkan memasuki Prancis.
Faktor Keamanan Menjadi Persoalan
Banyak negara Eropa akan memiliki masalah keamanan, kata Ian Bond dari Pusat Reformasi Eropa.
“Akan ada beberapa orang, mungkin di Eropa Timur, yang akan mengatakan bahwa orang Rusia selalu menjadi risiko keamanan; kita seharusnya tidak mendorong hal ini. Lalu ada orang lain, dan saya termasuk di antara mereka yang akan mengatakan semakin banyak orang yang bisa kita dorong untuk meninggalkan Rusia, semakin besar kekurangan SDM yang dialami oleh Presiden Rusia Vladimir Putin – tidak hanya untuk angkatan bersenjata, tetapi juga untuk kompleks industri militer.”
“Fakta bahwa Rusia telah membawa ribuan tentara Korea Utara ke medan perang merupakan indikasi bahwa kekurangan SDM benar-benar mulai terasa. Tapi tentu saja, Anda harus meneliti orang-orang ini dengan seksama untuk memastikan bahwa Anda tidak mengimpor pasukan khusus Rusia yang menyamar sebagai pembelot,” kata Bond kepada VOA.
Tidak jelas apakah Prancis berniat mengizinkan lebih banyak lagi pembelot Rusia memasuki negara itu dan meminta suaka. Kementerian Luar Negeri Prancis belum menanggapi permintaan VOA untuk mengomentari hal ini.
"Selalu Ada Kemungkinan Meletakkan Senjata"
Sejak melarikan diri dari Rusia, Alexander dan Irina telah membuat saluran YouTube yang ditujukan untuk tentara Rusia lainnya.
“Mungkin dengan bantuan saluran YouTube ini, para tentara yang telah mengambil langkah ini, yang telah meninggalkan unit mereka, meninggalkan Rusia, meninggalkan zona konflik, akan bisa menyampaikan ide-ide ini kepada mereka yang masih di sana, yang berada di persimpangan jalan, yang memutuskan untuk melarikan diri atau tetap tinggal,” kata Irina.
Sergei, salah seorang pembelot Rusia yang diizinkan masuk ke Prancis, mengatakan tentara Rusia selalu punya pilihan.
“Selalu ada kemungkinan untuk meletakkan senjata, tidak membunuh orang lain, dan mengakhiri partisipasi Anda dalam perang ini,” kata pria berusia 27 tahun itu kepada AFP. [th/em]