Prayuth Mundur, Pita Siap Bertarung di Perebutan Kursi Perdana Menteri Saat Thailand Masuki Minggu Kritis

Perdana Menteri Thailand Prayut Chan-ocha berbicara kepada awak media setelah melangsungkan rapat kabinet di Bangkok, pada 16 Mei 2023. (Foto: AFP/Lillian Suwanrumpha)

Perdana Menteri Thailand Prayuth Chan-ocha, mantan panglima militer yang memimpin Thailand sejak merebut kekuasaan sembilan tahun lalu melalui sebuah kudeta, mengatakan ia akan meninggalkan dunia politik pada Selasa (11/7).

Keputusan tersebut diambil hanya beberapa hari menjelang pemungutan suara pada 13 Juli mendatang, yang akan memutuskan apakah pemimpin kubu pro-demokrasi dapat menjadi perdana menteri.

Prayuth, yang saat ini telah berusia 69 tahun, menggulingkan pemerintahan terpilih pada tahun 2014. Kudeta pada 2014 itu merupakan kudeta ke-13 sejak berakhirnya monarki absolut di Thailand pada tahun 1932 yang dilakukan oleh tentara kerajaan yang tidak pernah membiarkan demokrasi tumbuh di Thailand.

BACA JUGA: Pita Hadapi Jalan Terjal untuk Menjadi Perdana Menteri Thailand

Sepanjang berkuasa, Prayuth menggambarkan dirinya sebagai prajurit yang terpaksa turun ke dunia politik untuk melindungi bangsa dari ketidakstabilan. Saat masa jabatan pertamanya sebagai perdana menteri berakhir, ia menolak mundur meskipun kinerja ekonominya buruk dan terjadi protes pro-demokrasi secara besar-besaran.

Pernyataan Prayuth pada hari Selasa itu tampaknya merupakan upaya untuk meredam desas-desus yang terus meluas bahwa ia mungkin akan mencoba bertarung kembali untuk masa jabatan ketiga, meskipun kinerja partainya dalam pemilu pada 14 Mei lalu menuai hasil buruk. Sebagian pengamat melihat hasil pemilu tersebut sebagai penolakan terhadap pemerintah militer.

“Mulai sekarang saya keluar dari dunia politik, dengan mengundurkan diri sebagai anggota Partai UTN,” ucap Prayuth dalam pernyataan yang dipasang di laman Facebook resmi Partai United Thai Nation (UTN).

Namun demikian ia akan tetap menjadi perdana menteri hingga ada pemimpin baru yang diangkat.

Pita Dinilai Harus Berjuang Keras dalam Pemungutan Suara 13 Juli

Pemimpin pro-demokrasi Thailand, Pita Limjaroenrat, kini menghadapi minggu yang kritis dalam upayanya memerintah negara gajah putih itu. Dalam pemilu pada bulan Mei lalu, Move Forward Party pimpinan Pita memperoleh 151 kursi di majelis rendah.

Pita, 42, telah menarik banyak simpati dalam tur nasional pasca pemilu untuk menggalang dukungan politik. Namun langkahnya menghadapi batu sandungan ketika konstitusi yang dibuat oleh pemerintahan Prayuth menyatakan perdana menteri baru harus memperoleh mayoritas langsung dari 750 suara dari gabungan dua majelis di parlemen.

Dalam pemungutan suara untuk mengisis kursi perdana menteri pada 13 Juli, Move Forward Party memimpin perolehan suara di majelis rendah parlemen dengan perolehan 311 dari 500 suara. Sebanyak 250 anggota Senat, yang secara khusus ditunjuk oleh Prayuth untuk memberinya kekuasaan veto di parlemen, tampaknya tidak akan mendukung Pita. Kondisi tersebut berarti Pita masih membutuhkan 376 suara untuk menjadi perdana menteri Thailand berikutnya.

BACA JUGA: Mayat Pengusaha Jerman yang Hilang Ditemukan di Lemari Es di Thailand

“Kita telah berjalan sejauh ini, dan ini bukanlah saatnya untuk berhenti. Hanya tinggal beberapa langkah lagi dan kita akan sampai di garis akhir bersama,” ujar Pita dalam sebuah acara kampanye di Bangkok pada Minggu (9/7). “Garis akhir itu bukanlah milik siapapun kecuali rakyat ... majelis tinggi dan majelis rendah akan menentukan bagaimana nasib Thailand dalam satu dekade atau satu abad ke depan.”

Mayoritas senator adalah para loyalis kerajaan yang menolak seruan untuk mereformasi hukum lese-majeste Thailand yang keras, yang melindungi monarki dari sasaran kritik.

Dalam dua tahun terakhir ini puluhan demonstran pro-demokrasi telah diadili berdasarkan aturan hukum itu, dengan vonis hukuman berkisar antara tiga hingga 15 tahun penjara. [em/jm]