Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akan mengeluarkan keputusan tentang pengadilan HAM Ad Hoc untuk kasus penghilangan orang secara paksa.
Anggota Dewan Pertimbangan Presiden, Albert Hasibuan, menyatakan pada Kamis (26/7) bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akan mengeluarkan keputusan presiden tentang pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) Ad Hoc untuk kasus penghilangan orang secara paksa selama periode 1997/1998, yang telah direkomendasikan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Albert tidak bersedia mengungkapkan kapan pastinya keputusan presiden atau Keppres tersebut dikeluarkan.
Menurutnya, pengadilan HAM ad Hoc ini diperlukan untuk mengadili para pelanggar HAM berat yang terlibat dalam kasus tersebut. Albert mengatakan bahwa Presiden Yudhoyono sangat berkomitmen untuk menyelesaikan semua persoalan pelanggaran HAM berat masa lalu agar ke depannya masyarakat Indonesia terlepas dari beban sejarah.
Ia menambahkan bahwa saat ini, pihaknya sedang menyusun konsep penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu secara moral dan politik. Pelanggaran HAM berat yang dimaksud bukan hanya pelanggaran HAM yang terjadi pada 1965/1966 tetapi semua pelanggaran HAM termasuk yang terjadi pada permulaan masa reformasi. Konsep Dewan Pertimbangan Presiden tentang penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu ini akan selesai tahun ini juga, ujar Albert.
Penyelesaian secara moral dan politik menurut Albert bukan berarti tidak akan adanya proses hukum terhadap para pelanggar HAM berat tersebut.
Dia mengatakan bahwa dalam menyelesaikan pelanggaran HAM, Presiden akan meminta maaf kepada para korban, dan rencananya para korban pelanggaran HAM berat itu juga akan diberikan proses rehabilitasi dan kompensasi.
“Bidang Presiden adalah bidang politik, non hukum akan melaksanakan tugasnya sesuai dengan kewenangan presiden. Tetapi kemudian akan diambil cara-cara untuk bisa menggabungkan seperti misalnya proses politik dan hukum. Artinya misalnya setelah ada pengadilan HAM, ada yang diadili kemudian ada pertemuan antara korban dan pelanggar. Dan korban bisa menyatakan memberi maaf itu semua berakhir dengan amnesty,” ujar Albert kepada VoA.
Sumarsih, ibu dari Bernardinus Realino Norma Irmawan atau Wawan, korban tragedi Semanggi I menghargai komitmen Presiden tersebut.
“Kami keluarga korban menyambut baik karena tanpa ada kemauan dari Presiden, dalam hal ini negara, maka kasus-kasus HAM ini seberat apapun atau perjuangan apapun yang dilakukan keluarga korban memang di Indonesia ini rasa-rasanya tidak akan terwujud,” ujar Sumarsih.
Koordinator Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Haris Azhar mengatakan Presiden Yudhoyono harus serius dalam menyelesaikan pelanggaran HAM berat masa lalu karena akibat pelanggaran tersebut, saat ini para korban hidup menderita.
Menurut Haris, Presiden harus mengawasi Kejaksaan Agung secara ketat jika Keppres tentang Pengadilan HAM Ad Hoc itu dikeluarkan agar dapat berjalan dengan baik.
“Tidak hanya kasus 1965 dan penembakan misterius, tapi berbagai kasus yang lain juga. [Presiden harus] meminta Jaksa Agung untuk segera membuat satu tim penyidik untuk berbagai kasus pelanggaran HAM di masa lalu itu. Kalau perlu rekomendasi nama-namanya dari presiden, presiden bisa mengundang para ahli untuk meminta masukan siapa dan bagaimana,” tutur Haris.
Albert tidak bersedia mengungkapkan kapan pastinya keputusan presiden atau Keppres tersebut dikeluarkan.
Menurutnya, pengadilan HAM ad Hoc ini diperlukan untuk mengadili para pelanggar HAM berat yang terlibat dalam kasus tersebut. Albert mengatakan bahwa Presiden Yudhoyono sangat berkomitmen untuk menyelesaikan semua persoalan pelanggaran HAM berat masa lalu agar ke depannya masyarakat Indonesia terlepas dari beban sejarah.
Ia menambahkan bahwa saat ini, pihaknya sedang menyusun konsep penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu secara moral dan politik. Pelanggaran HAM berat yang dimaksud bukan hanya pelanggaran HAM yang terjadi pada 1965/1966 tetapi semua pelanggaran HAM termasuk yang terjadi pada permulaan masa reformasi. Konsep Dewan Pertimbangan Presiden tentang penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu ini akan selesai tahun ini juga, ujar Albert.
Penyelesaian secara moral dan politik menurut Albert bukan berarti tidak akan adanya proses hukum terhadap para pelanggar HAM berat tersebut.
Dia mengatakan bahwa dalam menyelesaikan pelanggaran HAM, Presiden akan meminta maaf kepada para korban, dan rencananya para korban pelanggaran HAM berat itu juga akan diberikan proses rehabilitasi dan kompensasi.
“Bidang Presiden adalah bidang politik, non hukum akan melaksanakan tugasnya sesuai dengan kewenangan presiden. Tetapi kemudian akan diambil cara-cara untuk bisa menggabungkan seperti misalnya proses politik dan hukum. Artinya misalnya setelah ada pengadilan HAM, ada yang diadili kemudian ada pertemuan antara korban dan pelanggar. Dan korban bisa menyatakan memberi maaf itu semua berakhir dengan amnesty,” ujar Albert kepada VoA.
Sumarsih, ibu dari Bernardinus Realino Norma Irmawan atau Wawan, korban tragedi Semanggi I menghargai komitmen Presiden tersebut.
“Kami keluarga korban menyambut baik karena tanpa ada kemauan dari Presiden, dalam hal ini negara, maka kasus-kasus HAM ini seberat apapun atau perjuangan apapun yang dilakukan keluarga korban memang di Indonesia ini rasa-rasanya tidak akan terwujud,” ujar Sumarsih.
Koordinator Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Haris Azhar mengatakan Presiden Yudhoyono harus serius dalam menyelesaikan pelanggaran HAM berat masa lalu karena akibat pelanggaran tersebut, saat ini para korban hidup menderita.
Menurut Haris, Presiden harus mengawasi Kejaksaan Agung secara ketat jika Keppres tentang Pengadilan HAM Ad Hoc itu dikeluarkan agar dapat berjalan dengan baik.
“Tidak hanya kasus 1965 dan penembakan misterius, tapi berbagai kasus yang lain juga. [Presiden harus] meminta Jaksa Agung untuk segera membuat satu tim penyidik untuk berbagai kasus pelanggaran HAM di masa lalu itu. Kalau perlu rekomendasi nama-namanya dari presiden, presiden bisa mengundang para ahli untuk meminta masukan siapa dan bagaimana,” tutur Haris.