Awal bulan ini di media sosial beredar sebuah foto berkumpulnya sejumlah pria di sebuah lobi hotel Riau. Ada beberapa botol minuman di meja. Melihat posenya, foto ini tidak diambil secara diam-diam.
Belakangan terkuak, beberapa pria dalam foto itu adalah pejabat kepolisian di Riau, dan sisanya adalah para petinggi di perusahan PT. Andika Permata Sawit Lestari (APSL). Yang menjadi persoalan, perusahaan itu sedang disidik karena diduga terkait dalam kasus pembakaran lahan. Publik menganggap, tidak selayaknya aparat kepolisian bertemu dengan pihak-pihak yang tersangkut kasus hukum. Kapolri sendiri sudah mengatakan, pertemuan itu tidak disengaja.
Selain itu, beberapa hari setelah foto itu tersebar, terjadi penyanderaan polisi hutan dan petugas dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Entah kebetulan atau tidak, penyanderaan ini diduga terjadi di lahan yang dikelola APSL.
Petugas Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan hendak memasang papan segel, karena APSL diduga telah terlibat dalam pembakaran lahan seluas 2.000 hektar di Rokan Hulu, Riau. Puluhan massa yang diduga digerakkan perusahaan tersebut, meminta petugas menghapus seluruh file foto hasil investigasi kebakaran lahan dan hutan. Selama 12 jam, para petugas juga disandera, dan baru dibebaskan setelah petugas kepolisian datang.
Kalangan mahasiswa di Riau pun resah dengan apa yang terjadi. Mahasiswa Universitas Riau misalnya, menggelar aksi menuntut penjelasan dari polisi.
Aditya Putra Gumesya dari BEM Universitas Riau kepada VOA, kekecewaan masyarakat kepada polisi beruntun terjadi karena berbagai hal. Penghentian penyidikan terhadap 15 perusahaan yang diduga melakukan pembakaran lahan pada Juli 2016 lalu, tanpa alasan yang jelas, sudah mengundang pertanyaan besar. Aditya khawatir, pertemuan polisi dan pimpinan APSL seperti terekam dalam foto, akan berujung pada penghentian penyidikan juga.
“Tentunya kami berharap di Riau saat ini tidak terjadi kebakaran hutan dan lahan. Tidak ada lagi kabut asap seperti tahun kemarin yang begitu luar biasa. Tetapi melihat kondisi hukum kita yang tumpul ke atas runcing ke bawah, sepertinya tidak akan mungkin Riau bebas asap. Tidak akan mungkin. Seharusnya perusahaan yang diminta bertanggung jawab atas bencana ini, bukan masyarakat,” jelas Aditya Putra Gumesya.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya dalam keterangan persnya, menyayangkan insiden yang terjadi di Riau. Dia menegaskan, tim KLHK memiliki otoritas sesuai undang-undang untuk melakukan penyelidikan di lokasi kebakaran hutan dan lahan. Apalagi ditemukan bukti lapangan bahwa ada ribuan hektar sawit terbakar di hutan produksi yang belum ada pelepasan dari menteri, atau dengan kata lain, kebun sawit di area tersebut ilegal.
Berdasarkan rekaman foto dan video lapangan yang berhasil diselamatkan, terlihat lahan terbakar begitu luas. Kawasan hutan gambut itu berubah menjadi kebun sawit.
''Diduga kuat aktifitas ilegal ini difasilitasi pihak perusahaan dengan mengatasnamakan masyarakat melalui kelompok tani. Dengan insiden ini, penyelidikan pada PT ASPL akan menjadi prioritas utama kami. Karena ada tiga hal penting yang melibatkan perusahaan ini. Pertama, aktifitas perambahan kawasan hutan. Kedua, pembakaran lahan. Ketiga, penyanderaan. KLHK akan mengusut dan menindaknya secara tegas sesuai dengan kewenangan yang ada,'' ujar Menteri Siti Nurbaya.
Zamzami dari Greenpeace Indonesia menilai, dua insiden berurutan di Riau ini menunjukkan belum adanya semangat yang sama antara pemerintah pusat dan daerah terkait penegakan hukum bidang lingkungan. Fakta membuktikan, banyak perusahaan yang hanya memegang izin prinsip, tetapi bisa menebang hutan dan membuka perkebunan. Sejak lama, belum ada langkah penanganan secara konsisten dari pemerintah.
Greenpeace mengingatkan bahwa penegakan hukum di tingkat lokal yang kurang akan menjadi gangguan bagi pemerintah Jokowi. Presiden sudah berulangkali memaparkan program pencegahan kebakaran hutan dan lahan serta penegakan hukum, tetapi belum pernah ada evaluasi apakah program tersebut berjalan atau tidak.
“Karena penegakan hukum di tingkat lokal itu sangat kurang dan mengecewakan masyarakat, ini kan juga menjadi batu sandungan bagi Presiden Jokowi, untuk benar-benar merealisasikan komitmennya dalam menanggulangi kebakaran hutan dan kejahatan lingkungan. Apalagi kalau pemerintah daerah dan aparat penegak hukum daerah seburuk ini. Kasus ini harus menjadi alarm atau peringatan bagi Presiden untuk benar-benar mengecek apakah pemerintah lokal itu bisa merealisasikan dan mengimplementasikan apa yang dia instruksikan,” kata Zamzami.
Pada era Jokowi, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah menjatuhkan sanksi administratif terhadap 34 perusahaan terkait kebakaran hutan dan lahan. Pemerintah juga mengeluarkan peringatan keraskepada 115 perusahaan, dan membawa sekitar 15 perusahaan ke muka pengadilan.
Awal Agustus lalu, pengadilan menghukum PT National Sago Prima (NSP), anak usaha PT Sampoerna Agro Tbk., membayar Rp1,072 triliun atas kasus kebakaran hutan dan lahan. Perusahaan ini didakwa terlibat dalam kebakaran hutan dan lahan seluas 3.000 hektardi area konsesinya di Kabupaten Kepulauan Meranti, Riau. [ns/lt]