Aktivis meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bersikap tegas terkait kasus intoleransi terhadap kelompok agama minoritas.
Sejumlah aktivis dari berbagai lembaga swadaya masyarakat bertemu dengan anggota Dewan Pertimbangan Presiden Albert Hasibuan di Jakarta, Rabu (24/10), untuk meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bersikap tegas terkait kasus intoleransi terhadap kelompok agama minoritas yang meningkat akhir-akhir ini.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Febionesta, mengatakan sikap tegas Presiden sangat penting untuk mencegah terus terjadinya tindakan-tindakan intoleransi dan diskriminasi berbasiskan agama yang terus meluas di masyarakat.
Ia menilai selama ini pemerintah pusat seakan membiarkan terus meluasnya syiar
kebencian yang dilakukan sekelompok orang yang memiliki sikap intoleransi dan
ini sangat berbahaya.
Febionesta menyatakan diperlukan penegakan hukum yang tegas terhadap mereka yang melakukan syiar kebencian. Selain itu, pemerintah daerah tidak bisa menggunakan kepentingan politik lokal untuk membuat kebijakan yang bisa merugikan masyarakat khususnya mereka yang berasal dari kelompok agama minoritas, ujar Febionesta.
“Oleh karena itu kami meminta kepada Wantipres untuk menyampaikan kepada presiden agar pemerintah pusat memiliki formula untuk mengantisipasi terus meluasnya syiar kebencian,” tambahnya.
“Yang kedua, pemerintah pusat harus memiliki kebijakan yang tegas dan cepat untuk
menghentikan semua kebijakan-kebijakan dari pemerintah daerah yang memiliki
kepentingan politik terhadap dirinya atau kelompoknya saja tetapi tidak
mempertimbangkan kesejahteraan dan juga kemaslahatan warga secara setara.”
Lembaga swadaya masyarakat yang menemui Albert termasuk Wahid Institute, Human Rights Working Group dan KontraS.
Muhammad Subhi dari Wahid Institute juga menyayangkan sikap pemerintah daerah yang merelokasi kelompok-kelompok minoritas yang menjadi korban kekerasan atas nama agama seperti kelompok Ahmadiyah di Lombok, Syiah di Sampang Madura dan kelompok Kristen dari Gereja Kristen Indonesia Yasmin.
Menurutnya, relokasi tersebut bukan malah menambah masalah.
Subhi menyatakan kasus kekerasan atas nama agama di Indonesia yang terus meningkat menunjukan tidak adanya tindakan yang efektif dalam menyelesaikan kasus-kasus kekerasan atas nama agama.
“Kasus Ahmadiyah di Lombok, misalnya, setelah direlokasi ke tempat pengungsian sampai sekarang mereka malah terlantar. Kita tidak ingin penyelesaian seperti itu diulang lagi,” ujarnya.
Albert Hasibuan menyatakan akan memberikan masukan kepada Presiden sehubungan dengan penyelesaian masalah kebebasan beragama ini. Dia enggan menjelaskan hal tersebut lebih lanjut.
“Saya setuju dengan beberapa pemikiran dari teman-teman. Sikap Presiden itu positif, hanya saja memang membutuhkan pendalaman lebih lanjut. Saya optimis bahwa ini semua dapat diselesaikan dengan baik oleh pemerintah maupun masyarakat, “ ujarnya.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Febionesta, mengatakan sikap tegas Presiden sangat penting untuk mencegah terus terjadinya tindakan-tindakan intoleransi dan diskriminasi berbasiskan agama yang terus meluas di masyarakat.
Ia menilai selama ini pemerintah pusat seakan membiarkan terus meluasnya syiar
kebencian yang dilakukan sekelompok orang yang memiliki sikap intoleransi dan
ini sangat berbahaya.
Febionesta menyatakan diperlukan penegakan hukum yang tegas terhadap mereka yang melakukan syiar kebencian. Selain itu, pemerintah daerah tidak bisa menggunakan kepentingan politik lokal untuk membuat kebijakan yang bisa merugikan masyarakat khususnya mereka yang berasal dari kelompok agama minoritas, ujar Febionesta.
“Oleh karena itu kami meminta kepada Wantipres untuk menyampaikan kepada presiden agar pemerintah pusat memiliki formula untuk mengantisipasi terus meluasnya syiar kebencian,” tambahnya.
“Yang kedua, pemerintah pusat harus memiliki kebijakan yang tegas dan cepat untuk
menghentikan semua kebijakan-kebijakan dari pemerintah daerah yang memiliki
kepentingan politik terhadap dirinya atau kelompoknya saja tetapi tidak
mempertimbangkan kesejahteraan dan juga kemaslahatan warga secara setara.”
Lembaga swadaya masyarakat yang menemui Albert termasuk Wahid Institute, Human Rights Working Group dan KontraS.
Muhammad Subhi dari Wahid Institute juga menyayangkan sikap pemerintah daerah yang merelokasi kelompok-kelompok minoritas yang menjadi korban kekerasan atas nama agama seperti kelompok Ahmadiyah di Lombok, Syiah di Sampang Madura dan kelompok Kristen dari Gereja Kristen Indonesia Yasmin.
Menurutnya, relokasi tersebut bukan malah menambah masalah.
Subhi menyatakan kasus kekerasan atas nama agama di Indonesia yang terus meningkat menunjukan tidak adanya tindakan yang efektif dalam menyelesaikan kasus-kasus kekerasan atas nama agama.
“Kasus Ahmadiyah di Lombok, misalnya, setelah direlokasi ke tempat pengungsian sampai sekarang mereka malah terlantar. Kita tidak ingin penyelesaian seperti itu diulang lagi,” ujarnya.
Albert Hasibuan menyatakan akan memberikan masukan kepada Presiden sehubungan dengan penyelesaian masalah kebebasan beragama ini. Dia enggan menjelaskan hal tersebut lebih lanjut.
“Saya setuju dengan beberapa pemikiran dari teman-teman. Sikap Presiden itu positif, hanya saja memang membutuhkan pendalaman lebih lanjut. Saya optimis bahwa ini semua dapat diselesaikan dengan baik oleh pemerintah maupun masyarakat, “ ujarnya.