Presiden Filipina Ferdinand Marcos Jr., Selasa (16/4) mengatakan polisi berhasil menyita jumlah metamfetamin terbesar di negara itu selama bertahun-tahun tanpa ada yang terbunuh, kritikan halus terhadap tindakan keras pendahulunya yang terkenal mematikan terhadap narkoba.
Polisi menyita hampir 1.630 kilogram metamfetamin, Senin (15/4) dari sebuah van dan menangkap pengemudinya di sebuah pos pemeriksaan di kota Alitagtag di provinsi Batangas di selatan Manila. Operasi intelijen sedang dilakukan untuk menangkap para tersangka lainnya, kata para pejabat tanpa menjelaskan lebih lanjut.
Dikenal di kalangan warga setempat sebagai shabu, stimulan kuat ini memiliki nilai jual lebih dari 13 miliar peso ($228 juta), kata para pejabat.
“Ini adalah pengiriman sabu terbesar yang kami sita, namun tidak ada satu orang pun yang meninggal. Tidak ada tembakan yang dilepaskan dan tidak ada yang terluka karena kami beroperasi dengan secara hati-hati,” kata Marcos kepada wartawan di Alitagtag, di mana ia menunjukkan boks-boks yang berisi narkoba yang disita itu kepada wartawan.
“Bagi saya, ini harus menjadi pendekatan dalam perang melawan narkoba, dan tujuan yang paling penting adalah menghentikan penyelundupan narkoba ke Filipina,” kata Marcos, seraya menambahkan bahwa narkoba yang baru disita berasal dari luar negeri.
Marcos, yang mulai menjabat pada pertengahan tahun 2022, berjanji untuk melanjutkan pemberantasan narkoba yang dilancarkan pendahulunya, Rodrigo Duterte, namun mengatakan hal itu akan dilakukan secara berbeda dan lebih fokus pada rehabilitasi pecandu narkoba.
Di bawah pemerintahan Duterte, lebih dari 6.000 tersangka pengedar narkoba yang sebagian besar miskin tewas dalam bentrokan dengan aparat penegak hukum. Pembunuhan yang meluas ini membuat khawatir pemerintah negara-negara Barat, termasuk Amerika Serikat, dan memicu penyelidikan Mahkamah Pidana Internasional (ICC) yang sedang berlangsung sebagai kemungkinan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Polisi mengatakan jumlah pembunuhan terhadap tersangka narkoba jauh lebih sedikit di bawah pemerintahan Marcos, namun kelompok-kelompok HAM telah menyatakan kekhawatiran atas berlanjutnya pembunuhan seperti itu dan meminta Marcos untuk bekerja sama dengan ICC dalam menyelidiki pembunuhan yang terjadi ketika Duterte menjadi presiden dan wali kota Davao, sebuah kota di Filipina Selatan.
Sebagai presiden, Duterte menarik Filipina dari ICC pada tahun 2019 setelah pengadilan itu meluncurkan pemeriksaan awal terhadap ribuan pembunuhan terkait tindakan keras anti-narkobanya.
Kritikus kemudian mengatakan bahwa tindakan Duterte adalah upaya untuk menghindari akuntabilitas. Namun jaksa ICC mengatakan pengadilan tersebut masih memiliki yurisdiksi atas dugaan kejahatan sementara Filipina masih menjadi anggota ICC, sebuah pengadilan yang menjadi pilihan terakhir untuk kejahatan yang negara-negara tidak mau atau tidak mampu untuk menuntutnya sendiri.
Marcos mengatakan kepada koresponden asing yang berbasis di Manila pada hari Senin bahwa hubungannya dengan Duterte “rumit.” Duterte secara terbuka menuduh Marcos sebagai pemimpin yang lemah dan pernah menggunakan kokain di masa lalu, sebuah tuduhan yang berulang kali dibantah oleh presiden saat ini.
Wakil presiden Marcos adalah putri Duterte, Sara, dan mereka terpilih pada tahun 2022 dengan kemenangan telak.
Marcos memperbarui pendiriannya bahwa dia tidak akan membawa Filipina kembali ke ICC. Ketika ditanya apakah dia akan menyerahkan Duterte jika ICC memutuskan mengeluarkan surat perintah penangkapannya di masa depan, Marcos mengatakan dia tidak akan menyerahkannya. [ab/ns]