Presiden Georgia mengatakan pada hari Minggu (27/10) bahwa dia tidak mengakui hasil pemilu parlemen yang berlangsung akhir pekan lalu, yang menurut para pejabat pemilu dimenangkan oleh partai yang berkuasa, dan menambahkan bahwa negara tersebut menjadi korban dari “operasi khusus Rusia” yang bertujuan untuk menjauhkan negara itu dari jalur menuju Eropa.
Berdiri di samping para pemimpin oposisi, Presiden Salome Zourabichvili mendesak warga Georgia untuk berunjuk rasa pada Senin (28/10) malam di jalan utama Tbilisi untuk memprotes apa yang disebutnya sebagai “pemalsuan total, pencurian total suara Anda,” sehingga meningkatkan prospek kekacauan politik lebih lanjut di negara Kaukasus Selatan tersebut.
“Tidak ada yang bisa merenggut masa depan Georgia di Eropa,” kata Zourabichvili.
Dia berbicara sehari setelah pemilu yang dapat menentukan apakah Georgia akan bergabung dengan Eropa atau berada di bawah kontrol Rusia.
Komisi Pemilihan Umum Pusat mengatakan pada hari Minggu bahwa partai yang berkuasa, Georgian Dream, memperoleh 54,8% suara pada hari Sabtu dengan hampir 100% surat suara telah dihitung.
BACA JUGA: OSCE: Pemilu Georgia Tunjukkan Bukti 'Kemunduran Demokrasi'Para pengamat pemilu Eropa mengatakan pemilu berlangsung dalam suasana yang “memecah belah” yang ditandai dengan intimidasi dan kekerasan fisik yang mengacaukan hasil pemilu.
Georgian Dream menjadi semakin otoriter selama setahun terakhir, dan mengadopsi berbagai undang-undang yang serupa dengan yang diterapkan Rusia untuk menindak kebebasan berpendapat.
Brussels menangguhkan proses keanggotaan Georgia di Uni Eeropa tanpa batas waktu karena partai yang berkuasa di negara itu meloloskan “undang-undang pengaruh asing” yang mengikuti gaya Rusia pada bulan Juni lalu. Undang-undang baru itu mencap lembaga swadaya masyarakat dan media yang didukung Barat sebagai “agen asing” sehingga ruang gerak mereka harus dibatasi.
Banyak warga Georgia memandang pemungutan suara yang digelar pada Sabtu (26/10) sebagai referendum mengenai peluang untuk bergabung dengan Uni Eropa.
Kampanye pemilu di negara berpenduduk 3,7 juta jiwa, yang berbatasan dengan Rusia itu, didominasi oleh isu-isu kebijakan luar negeri dan ditandai dengan persaingan sengit dalam memperebutkan suara dan tuduhan-tuduhan kampanye kotor. [ab/lt]