Beberapa hari setelah insiden penembakan di Deiyai itu, Komnas HAM Propinsi Papua melakukan pemantauan secara seksama pada tanggal 3-5 Agustus, yang kemudian ditindaklanjuti dengan kedatangan Ketua Tim Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM RI Natalius Pigai. Pigai yang merupakan putra asli Papua, bekerja di Deiyai pada 8 – 12 Agustus 2017. Tim pimpinannya melakukan pertemuan dengan korban, saksi peristiwa dan pengelola rumah sakit daerah yang merawat korban luka; melakukan olah tempat kejadian peristiwa dan berkoordinasi dengan perwakilan Komnas HAM Provinsi Papua.
Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian pun bertindak cepat. Kapolri memerintahkan jajaran Polda Papua menggelar pertemuan dengan Bupati Nabire, Paniai, Deiyai dan Dogiyai di Timika, Papua, pada 11 Agustus membahas peristiwa dan tindak lanjut kasus tersebut. Komisioner Natalius Pigai, dalam keterangan pers menyatakan, Komnas HAM dan Kapolri telah bertemu membahas hal-hal teknis terkait proses penegakan hukum bagi anggota Sat Brimob, penutupan Pos Brimob di Deiyai dan potensi keterlibatan perusahaan PT. Putra Dewa Paniai.
“Pasca pemantauan di lokasi, Komnas HAM juga melakukan pemanggilan terhadap Kapolda Papua ke Komnas HAM yang dihadiri oleh Wakapolda Papua beserta jajarannya pada Jumat, 18 Agustus pukul 14.00 WIB untuk menyampaikan perkembangan penegakan hukum yang sudah dilakukan pihak Polda,” papar Natalius Pigai.
Polda Papua menyatakan tujuh anggotanya telah diperiksa atas dugaan kesalahan menjalankan prosedur pengamanan. Polisi juga memastikan, korban dengan luka tembak atas nama Yulianus Pigai.
Di Manokwari, Papua, Kapolri Tito Karnavian, pada 13 Agustus menyatakan bahwa tim Mabes Polri juga sudah memulai penyelidikan Deiyai. Tito memastikan institusinya tidak menutup diri, dan karena itu penyelidikan ini melibatkan Komnas HAM RI dan Komnas HAM perwakilan Papua. Ia berharap penyelidikan yang dilakukan secara rinci bisa memperjelas duduk perkara dan tidak menimbulkan kecurigaan berlebih di tengah masyarakat Papua.
"Tidak pernah Kapolri memberi perintah kepada Kapolda di Papua atau Papua Barat untuk melakukan pembunuhan dan penembakan terhadap orang Papua. Sekali lagi saya katakan bahwa, tidak ada perintah institusi untuk mematikan orang Papua. Namun yang terjadi adalah insiden-insiden spontan,” ujar Kapolri kepada media.
Namun, keinginan Kapolri agar tidak ada lagi kecurigaan masyarakat terhadap upaya penegakan hukum akan memperoleh tantangan besar. Mahasiswa dan pemuda Papua di Jakarta yang tergabung dalam Solidaritas HAM Deiyai West Papua ragu polisi akan bertindak obyektif. Juru bicara organisasi ini, Welem Assem kepada VOA memaparkan, rakyat Papua memiliki sejarah buruk dalam hubungannya dengan aparat keamanan. Sejarah membuktikan, insiden penembakan yang sudah dikategorikan sebagai pelanggaran HAM sekalipun – misalnya peristiwa Wasior, Wamena dan Paniai – akhirnya berlalu tanpa kepastian hukum.
“Setiap kali kejadian disana, hasil investigasi sudah benar, tetapi begitu dibawa ke upaya penegakan hukum, itu berhenti disitu saja. Akan terjadi intervensi terhadap kasus, atau tidak ada keseriusan pemerintah dalam menangani hal ini. Jujur saja, kalau kepada kepolisian kami tidak percaya. Kalau memang iya, pelaku yang dibawa ke pengadilan atau dipecat. Kami akan menunggu sampai dimana penyelesaiannya. Kami akan mempertanyakan terus,” ujar Welem.
Rakyat Papua, kata Welem Assem, kini hanya percaya kepada Komnas HAM. Masalahnya, apakah rekomendasi lembaga ini akan ditindaklanjuti oleh kepolisian?.
“Jangan persalahkan kalau negara luar menyoroti masalah ini, karena kita tidak serius untuk menyelesaikan kasus. Kami khawatir ini tidak akan diselesaikan. Kalau tidak selesai, maka lembaga penegak hukum mana yang bisa membuat orang Papua percaya? Presiden ini serius atau tidak? Kami minta Presiden Jokowi untuk segera mengintervensi upaya penyelesaian kasus ini. Kalau tidak penembakan akan terus terjadi. Apalagi, Papua ini wilayah yang sedang bergolak politik ideologisnya,” kata Welem.
Ocha Windesi, aktivis lembaga Aliansi Demokrasi untuk Papua di Jayapura ketika dihubungi VOA mengakui adanya luka lama yang masih sulit disembuhkan. Rakyat, terutama yang tinggal di wilayah pegunungan, sejak lama tidak menaruh kepercayaan kepada penegak hukum. Tiga kasus pelanggaran HAM berat yang sudah masuk dalam target penyelesaian oleh Jokowi saja hingga saat ini masih menggantung. Rakyat tidak yakin akan penyelesaian hukum kasus Deiyai mengingat daerah itu merupakan bagian dari wilaya Paniai yang dimekarkan pemerintah pusat. Paniai adalah lokasi dimana terjadi aksi kekerasan yang merenggut 5 korban meninggal dan 12 luka-luka pada tahun 2014 lalu.
“Pelanggaran HAM itu kan luas, bukan hanya soal merenggut nyawa seseorang. Pelanggaran HAM itu juga terjadi ketika kami, orang Papua, tidak memperoleh pendidikan yang layak atau tidak bisa mengakses layanan kesehatan dengan baik. Akses informasi terjadap segala sesuatu, itu sama saja melanggar HAM. Sedangkan kita hidup dalam satu negara, dan kita harusnya dilindungi oleh negara. Jadi saya rasa, sakit hati itu bukan karena hanya pembunuhan terhadap orang Papua, tetapi juga karena sebab-sebab lainnya tadi, yang harus kita kategorikan sebagai melanggar HAM,” ujar Ocha.
Ocha Windesi menambahkan pengamatan yang dilakukan organisasinya selama beberapa tahun terakhir menunjukkan konflik vertikal antara rakyat dan aparat jauh lebih banyak dibanding konfik horizontal atau sesama warga. Ia menyambut baik upaya Presiden Jokowi mengambil hati rakyat Papua lewat berbagai program pembangunan infrastruktur belakangan ini, namun menurutnya rakyat Papua masih menunggu apakah program itu akan memberi manfaat bagi warga asli Papua.
“Apakah nanti ketika proyek infrastruktur itu selesai, maka orang Papua bisa mengambil manfaat ekonomi dari semua ini, ataukah justru orang dari luar. Jadi menurut saya, penyelesaian masalah ini di Papua tidak hanya bisa dilakukan dengan membangun infrastruktur saja, tetapi juga harus membangun sumber daya manusianya juga. Memang ini masalah yang kompleks sekali untuk diselesaikan,” tambah Ocha.
Aksi penembakan di Deiyai diawali dengan insiden tenggelamnya seorang warga. Untuk membawanya korban ke rumah sakit, warga meminta bantuan angkutan dari PT. Putra Dewa Paniai. Namun permintaan itu ditolak, hingga korban akhirnya meninggal. Peristiwa itu membuat masyarakat di fasilitas perusahaan marah, dan memicu tindakan aparat yang berakhir dengan insiden penembakan. Satu orang tewas dan belasan luka dalam insiden ini. [ns/em]