Presiden Korea Selatan Yoon Suk Yeol mengecam kesepakatan senjata terlarang antara Korea Utara dan Rusia. Ia menyatakan akan menekankan implikasinya terhadap keamanan yang luas dan membahas tanggapan internasional dalam KTT Kerja Sama Ekonomi Asia-Pasifik (APEC) di San Francisco minggu ini.
Dalam tanggapan tertulis atas pertanyaan dari kantor berita Associated Press menjelang pertemuan APEC, Yoon juga mengatakan bahwa provokasi Korea Utara akan mengundang pembalasan langsung dari pasukan Korea Selatan dan AS. Ada kekhawatiran bahwa Korea Utara mungkin salah perhitungan dan mengambil tindakan melawan Korea Selatan sementara dunia sedang berfokus pada konflik di Timur Tengah dan Ukraina.
“Cara efektif untuk mencegah Korea Utara melakukan salah perhitungan adalah dengan menunjukkan kemampuan pencegahan dan tekad kami yang kuat terhadap Korea Utara berdasarkan postur pertahanan bersama AS dan Koreas Selatan yang kokoh,” kata Yoon.
“Provokasi yang dilakukan Korea Utara tidak hanya akan gagal mencapai tujuan yang diharapkan namun juga mengakibatkan pembalasan yang cepat dan kuat dari aliansi Korea Selatan-AS,” lanjutnya.
BACA JUGA: Menhan Tegaskan Komitmen AS terhadap Sekutu di Indo-PasifikAda kekhawatiran bahwa perang berkepanjangan yang dilakukan Rusia terhadap Ukraina dan konflik yang berkecamuk antara Israel dan Hamas menambah kompleksitas dan ketidakpastian mengenai situasi keamanan di Semenanjung Korea.
Beberapa ahli mengatakan bahwa Korea Utara dilaporkan berupaya menggunakan teknologi senjata canggih Rusia sebagai imbalan atas pasokan senjata konvensional untuk perang Rusia di Ukraina. Ini dapat membantu Korea Utara memodernisasi rudal berkemampuan nuklir yang menarget Korea Selatan dan AS.
Para ahli juga khawatir bahwa fokusnya Washington dengan Ukraina dan Israel mungkin akan mendorong Korea Utara untuk menyimpulkan bahwa postur keamanan AS di Semenanjung Korea telah melemah dan melancarkan serangan mendadak atau provokasi lainnya terhadap Korea Selatan.
Sejak menjabat pada Mei tahun lalu, Yoon, seorang konservatif, telah menjadikan penguatan kemitraan militer dengan AS sebagai pusat kebijakan luar negerinya dalam menanggapi ancaman nuklir Korea Utara yang terus berkembang. Sejak ia dilantik, kata Yoon, Korea Utara telah melakukan uji coba peluncuran total 87 rudal balistik.
BACA JUGA: Korea Utara Kecam Komentar Menlu AS terkait Hubungan Pyongyang- MoskowMeskipun demikian, banyak analis asing menilai Korea Utara masih belum memiliki rudal nuklir yang berfungsi. Namun mereka mengatakan bahwa dukungan Rusia dapat membantu Korea Utara mengatasi hambatan teknologi yang ada untuk memperoleh senjata tersebut.
Baik Korea Utara maupun Rusia menganggap spekulasi kesepakatan transfer senjata itu tidak berdasar, karena akan melanggar beberapa resolusi Dewan Keamanan PBB yang melarang perdagangan senjata ke dan dari Korea Utara.
“Kerja sama militer kedua negara ini… tidak hanya menimbulkan ancaman serius bagi keamanan Semenanjung Korea, Asia Timur Laut, dan Eropa, namun juga merusak tatanan internasional yang berdasarkan aturan universal,” kata Yoon.
Pada pertemuan dengan banyak pemimpin dunia dalam pertemuan APEC yang beranggotakan 21 negara, Yoon mengatakan, ia akan menyoroti beragam ancaman keamanan yang ditimbulkan oleh kerja sama “ilegal” Korea Utara-Rusia dan mendiskusikan cara memperkuat kerja sama.
Salah satu bidang di mana Korea Utara diyakini menerima bantuan teknologi Rusia adalah program peluncuran satelit mata-mata. Setelah dua kali gagal berturut-turut dalam menempatkan satelit mata-mata militer pertamanya ke orbit dalam beberapa bulan terakhir, Korea Utara bertekad akan melakukan upaya peluncuran ketiga pada bulan Oktober. Namun itu tidak terjadi. Para pejabat Korea Selatan menduga ini mungkin terjadi karena Korea Utara mulai menerima bantuan Rusia.
BACA JUGA: Korsel akan Luncurkan Satelit Mata-mata Militer Pertama Akhir NovemberYoon mengatakan tujuan utama peluncuran satelit mata-mata Korea Utara adalah memajukan rudal nuklirnya. Pemimpin Korea Utara Kim Jong-un sebelumnya mengatakan ia membutuhkan sistem pengawasan berbasis antariksa untuk memantau aktivitas Korea Selatan dan AS dengan lebih baik dan meningkatkan kemampuan serangan rudal nuklirnya.
Peluncuran satelit membutuhkan roket jarak jauh. Resolusi PBB melarang peluncuran satelit apa pun oleh Korea Utara, karena badan dunia tersebut memandang peluncuran tersebut sebagai kedok untuk menguji teknologi rudal jarak jauhnya.
“Jika Korea Utara berhasil meluncurkan satelit pengintaian militer, itu menandakan bahwa kemampuan ICBM (rudal balistik antarbenua) Korea Utara telah ditingkatkan ke tingkat yang lebih tinggi,” kata Yoon. “Oleh karena itu, kita harus melakukan tindakan pencegahan yang diperkuat.” [ab/ka]