Pemimpin pemerintahan transisi Mali, Dioncounda Traore, secara resmi minta blok regional Masyarakat Ekonomi Negara-negara di Afrika Barat (ECOWAS) mengirim pasukan ke Mali.
Pemimpin sementara Mali Dioncounda Traore minta ECOWAS memberikan "bantuan militer" untuk merebut kembali wilayah yang diduduki kelompok militan Islam di Mali utara dan untuk memerangi terorisme.
Permintaan itu disampaikan dalam sepucuk surat yang dikirim kepada Presiden Pantai Gading Alassane Ouattara, yang memegang jabatan bergilir kepemimpinan ECOWAS.
Permintaan itu dilaporkan hari Selasa oleh utusan khusus Prancis untuk kawasan Sahel, Jean Felix-Paganon, yang berbicara kepada wartawan di ibukota Burkina Faso.
Ia mengatakan baru saja datang dari Abidjan, di mana Presiden Ouattara mengatakan Traore telah meminta pasukan ECOWAS untuk ikut menstabilkan negara itu, dan lebih penting lagi untuk merebut kembali Mali utara. Ia mengatakan permintaan itu merupakan perkembangan penting yang tampaknya telah direncanakan selama beberapa waktu.
Pemerintah Mali belum secara terbuka berkomentar mengenai laporan pejabat Prancis tersebut.
Kelompok militan Islam terkait al-Qaida menguasai dua pertiga wilayah Mali di utara. Mereka memanfaatkan kudeta militer 22 Maret di Bamako untuk merebut wilayah itu bulan April bersama pemberontak Tuareg yang kemudian mereka usir.
Kelompok militan terkait al-Qaeda yang dikenal sebagai MUJAO, bergerak ke selatan pada tanggal 1 September, merebut kota Douentza tanpa perlawanan. Gerakan itu membawa mereka ke posisi kurang dari 200 kilometer dari benteng tentara Mali di Sevare.
Aksi untuk menguasai Douentza itu ditanggapi dengan kegelisahan dan kekecewaan di ibukota Mali, Bamako. Sebuah koalisi politik besar, Front Bersatu Pembela Republik dan Demokrasi, menyebutnya sebagai "penghinaan terhadap tentara dan rakyat Mali."
Wakil ketua koalisi Fatoumata Diakhite mengatakan mereka menyambut baik permintaan bantuan ECOWAS oleh pemerintah. Ia mengatakan tentara tidak berbuat apa pun untuk mencegah militan mengambil alih Douentza.Ia mengatakan Mali punya pasukan berseragam, tetapi bukan tentara. Ia mengatakan mereka perlu bantuan dari luar untuk membebaskan Mali utara. Katanya, mereka tidak lagi perlu pembicaraan tapi yang diinginkan adalah tindakan.
Namun, sementara pihak di Bamako sebelumnya menolak gagasan menghadirkan pasukan asing di Mali. Pemimpin satu koalisi yang menentang gagasan itu mengatakan terserah pemerintah untuk menjual harga diri rakyat Mali demi bantuan ECOWAS, tetapi ia menolak berkomentar lebih jauh sampai ada rincian mengenai permintaan bantuan ECOWAS tersebut.
ECOWAS sebelumnya mengatakan siap mengirim 3.000 tentara untuk apa yang dikatakan sebagai misi dengan tiga tujuan: mereorganisasi tentara Mali, yang masih tidak teratur setelah kudeta, mengamankan pemerintahan transisi di Bamako, dan membantu merebut kembali Mali utara.
ECOWAS selama ini menunggu permintaan resmi Mali sebelum minta mandat intervensi dari Dewan Keamanan PBB. Dewan Keamanan menolak permintaan sebelumnya, dengan alasan permintaan itu tidak jelas.
Permintaan itu disampaikan dalam sepucuk surat yang dikirim kepada Presiden Pantai Gading Alassane Ouattara, yang memegang jabatan bergilir kepemimpinan ECOWAS.
Permintaan itu dilaporkan hari Selasa oleh utusan khusus Prancis untuk kawasan Sahel, Jean Felix-Paganon, yang berbicara kepada wartawan di ibukota Burkina Faso.
Ia mengatakan baru saja datang dari Abidjan, di mana Presiden Ouattara mengatakan Traore telah meminta pasukan ECOWAS untuk ikut menstabilkan negara itu, dan lebih penting lagi untuk merebut kembali Mali utara. Ia mengatakan permintaan itu merupakan perkembangan penting yang tampaknya telah direncanakan selama beberapa waktu.
Pemerintah Mali belum secara terbuka berkomentar mengenai laporan pejabat Prancis tersebut.
Kelompok militan Islam terkait al-Qaida menguasai dua pertiga wilayah Mali di utara. Mereka memanfaatkan kudeta militer 22 Maret di Bamako untuk merebut wilayah itu bulan April bersama pemberontak Tuareg yang kemudian mereka usir.
Kelompok militan terkait al-Qaeda yang dikenal sebagai MUJAO, bergerak ke selatan pada tanggal 1 September, merebut kota Douentza tanpa perlawanan. Gerakan itu membawa mereka ke posisi kurang dari 200 kilometer dari benteng tentara Mali di Sevare.
Aksi untuk menguasai Douentza itu ditanggapi dengan kegelisahan dan kekecewaan di ibukota Mali, Bamako. Sebuah koalisi politik besar, Front Bersatu Pembela Republik dan Demokrasi, menyebutnya sebagai "penghinaan terhadap tentara dan rakyat Mali."
Wakil ketua koalisi Fatoumata Diakhite mengatakan mereka menyambut baik permintaan bantuan ECOWAS oleh pemerintah. Ia mengatakan tentara tidak berbuat apa pun untuk mencegah militan mengambil alih Douentza.Ia mengatakan Mali punya pasukan berseragam, tetapi bukan tentara. Ia mengatakan mereka perlu bantuan dari luar untuk membebaskan Mali utara. Katanya, mereka tidak lagi perlu pembicaraan tapi yang diinginkan adalah tindakan.
Namun, sementara pihak di Bamako sebelumnya menolak gagasan menghadirkan pasukan asing di Mali. Pemimpin satu koalisi yang menentang gagasan itu mengatakan terserah pemerintah untuk menjual harga diri rakyat Mali demi bantuan ECOWAS, tetapi ia menolak berkomentar lebih jauh sampai ada rincian mengenai permintaan bantuan ECOWAS tersebut.
ECOWAS sebelumnya mengatakan siap mengirim 3.000 tentara untuk apa yang dikatakan sebagai misi dengan tiga tujuan: mereorganisasi tentara Mali, yang masih tidak teratur setelah kudeta, mengamankan pemerintahan transisi di Bamako, dan membantu merebut kembali Mali utara.
ECOWAS selama ini menunggu permintaan resmi Mali sebelum minta mandat intervensi dari Dewan Keamanan PBB. Dewan Keamanan menolak permintaan sebelumnya, dengan alasan permintaan itu tidak jelas.