Tolak Pilkada Tak Langsung, Presiden SBY Keluarkan 2 Perppu

Presiden SBY memberi keterangan pers soal Perppu Pilkada di Istana Negara, Jakarta hari Kamis 2/10 (foto: VOA/Andylala)

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono Kamis (2/10) mengeluarkan dua Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) terkait pelaksanaan pemilihan kepala daerah.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerbitkan dan menandatangani dua Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) terkait pelaksanaan pemilihan kepala daerah.

Dalam keterangan pers di Istana Merdeka Jakarta Kamis (2/10), Presiden menjelaskan penerbitan 2 Perppu ini adalah berdasarkan keinginan dari masyarakat luas yang menginginkan tetap berlangsungnya Pilkada langsung di Indonesia.

Presiden Yudhoyono mengatakan, "Saya baru saja menandatangani dua perppu. Pertama, Perppu Nomor 1 tahun 2014 tentang pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota. Perppu itu sekaligus mencabut Undang-undang Nomor 22 tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota. Sebagai konsekuensi dari penetapan pilkada secara langsung tersebut maka untuk menghilangkan ketidakpastian hukum di masyarakat, saya juga menerbitkan Perppu kedua yakni terkait Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang isinya menghapus kewenangan DPRD untuk melaksanakan pemilihan kepala daerah."

Presiden menambahkan, perbaikan penyelenggaraan Pilkada menjadi poin utama dalam Perppu ini. Perbaikan itu di antaranya adalah uji publik calon kepala daerah dan penghematan anggaran penyelenggaraan pilkada.

"Mengatur kampanye dan pembatasan kampanye terbuka agar biaya bisa lebih dihemat lagi dan untuk mencegah benturan antar massa. Melarang politik uang termasuk serangan fajar dan membayar parpol yang mengusung. Lalu demi keadilan para pelaku fitnah harus diberikan sanksi hukum. Melarang pelibatan aparat birokrasi. Melarang pencopotan aparat birokrasi pasca Pilkada. Menyelesaikan sengketa hasil pilkada secara akuntabel, pasti dan tidak berlarut-larut. Mencegah kekerasan dan menuntut tanggung jawab calon atas kepatuhan hukum pendukungnya," papar Presiden.

Presiden menegaskan, dikeluarkannya dua Perppu ini sudah sesuai dengan prasyarat yang berlaku seputar adanya kondisi yang dianggap genting oleh Presiden.

"Sesuai ketentuan Pasal 22 UUD 1945, perlu saya tegaskan, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009 menjelaskan bahwa Perppu adalah subjektifitas Presiden, yang objektifitas politiknya dinilai oleh DPR ketika perppu itu diajukan untuk mendapatkan persetujuan. Putusan MK itu sendiri, mensyaratkan kegentingan yang memaksa terjadi jika ada kebutuhan hukum yang mendesak, terjadinya kekosongan hukum, atau terjadinya ketidakpastian hukum," jelas Presiden.

Presiden juga menegaskan, jika ada sebuah undang-undang yang mendapatkan penolakan yang kuat dari masyarakat, tentunya akan menimblkan masalah dalam pelaksanaannya.

Dalam Pasal 22 ayat 2 UUD 1945 menyatakan, Perppu harus mendapat persetujuan DPR dalam persidangan yang berikut. Dengan demikian, DPR periode 2014-2019 yang akan membahas dan mengambil keputusan persetujuan.

Sementara itu, komposisi DPR RI 2014-2019 didominasi oleh Koalisi Merah Putih yang sebelumnya menolak Pilkada langsung oleh rakyat. Koalisi Merah Putih ini adalah gabungan partai politik yang pada pemilihan presiden lalu mendukung pencalonan Pr bowo Subianto sbagai Presiden.

Koalisi ini didukung oleh lima partai yaitu Gerindra, Golkar, PAN, PPP, dan PKS dengan jumlah kursi 291. Sementara itu koalisi pendukung Jokowi-JK memiliki 208 kursi, yaitu PDIP, PKB dan Hanura.

Peneliti politik dalam negeri dari LP3ES Rahadi Wiratama kepada VOA memastikan dinamika politik Indonesia ke depan akan semakin menghangat dengan dikeluarkannya Perppu Pilkada ini.

"Suara di kubu merah putih menyatakan bahwa mereka akan mengambil sikap tegas yaitu menolak Perppu yang akan diterbitkan oleh Presiden. Sehingga proses tarik menarik antara pro dan anti Pilkada langsung ini akan menjadi isu politik yang hangat selama dan pasca transisi ini. Nah saya kira dinamika ini bukan Cuma ada di tingkat elit tetapi juga di masyarakat bawah," demikian menurut Rahadi.