Presiden Tsai Ing-wen membela demokrasi Taiwan dari campur tangan China dalam pidato pelantikannya hari Rabu (20/5).
Empat bulan setelah kemenangan besar dalam pemilu yang mengantarkannya ke masa jabatan kedua, Presiden Tsai mengatakan pulau berpemerintahan sendiri itu tidak akan menerima penggunaan ‘satu negara, dua sistem’ oleh Beijing untuk merendahkan Taiwan dan merongrong status quo lintas selat. “Kami berpegang teguh pada prinsip ini,” ujarnya.
China dan Taiwan terpisah pada tahun 1949 setelah pasukan Nasionalis pimpinan Chiang Kai-Shek melarikan diri melintasi Selat Taiwan dan menetap di pulau itu setelah kalah dalam perang saudara melawan pasukan Komunis pimpinan Mao Zedong. Tetapi Beijing menolak Taiwan sebagai negara merdeka, dan telah bertekad akan menganeksasi Taiwan dengan semua cara yang diperlukan, termasuk invasi militer.
Ketegangan antara kedua pihak meningkat sejak Tsai pertama kali menjabat pada tahun 2016 sebagai ketua Partai Progresif Demokratik, yang telah lama mendukung kemerdekaan resmi Taiwan.
Beijing menolak mengadakan pembicaraan dengan Tsai kecuali jika ia menerima konsep “satu negara, dua sistem,” di mana pemerintah China daratan memimpin wilaya semiotonom Hong Kong.
China telah melancarkan kampanye tekanan diplomatik dan militer besar-besaran terhadap Taipei, melakukan sejumlah latihan angkatan laut dan udara di Selat Taiwan, menghambat partisipasi Taiwan dalam berbagai organisasi internasional seperti Organisasi Kesehatan Dunia, dan berhasil membujuk banyak negara untuk mengubah hubungan diplomatik resmi mereka dari Taiwan ke China daratan.
Tetapi Presiden Tsai, Rabu (20/5) mengatakan bahwa hubungan antara China dan Taiwan telah mencapai “titik balik historis,” seraya menegaskan bahwa “perdamaian, kesetaraan, demokrasi dan dialog” harus menjadi landasan agar kontak dapat berlangsung.
Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo menyampaikan ucapan selamat kepada Tsai dalam sebuah pesan pribadi, memuji “keberanian dan visinya dalam memimpin demokrasi Taiwan yang dinamis.” [uh/ab]