Presiden Terpilih Taiwan, Lai, akan Hadapi Kemarahan China

Wakil Presiden Taiwan Lai Ching-te, juga dikenal sebagai William Lai, kiri, merayakan kemenangannya dalam pilpres bersama pasangannya Bi-khim Hsiao, kanan, di Taipei, Taiwan, 13 Januari 2024. (Foto: AP)

Presiden terpilih Taiwan yang baru, Lai Ching-te, kemungkinan akan menghadapi tugas terberatnya saat ia menjabat pada Mei dan dia harus menghadapi kemarahan China yang berulang kali mengecamnya sebagai separatis yang berbahaya.

Lai, yang memenangkan pemilu pada Sabtu (13/1), juga berulang kali mengatakan dalam kampanyenya bahwa ia ingin mempertahankan status quo dengan China dan menawarkan diri untuk berdialog dengan Beijing.

“Kami tidak ingin bermusuhan dengan China. Kami bisa menjadi teman,” kata Lai, yang dikenal dengan nama Inggrisnya William, kepada stasiun televisi Taiwan pada Juli.

Namun dalam pandangan Beijing, Lai, 64 tahun, adalah seorang separatis dan “pembuat onar” atas komentar yang pertama kali dia sampaikan ketika menjabat sebagai perdana menteri pada 2017. Saat itu Lai mengungkapkan tentang menjadi “pekerja” untuk kemerdekaan formal Taiwan – sebuah garis merah bagi Beijing.

Wakil Presiden Taiwan Lai Ching-te, juga dikenal sebagai William Lai, merayakan kemenangannya bersama pasangannya Bi-khim Hsiao dan pendukungnya, di Taipei, Taiwan, Sabtu, 13 Januari 2024. (Foto: AP) ​

Pada tahun berikutnya, ia mengatakan kepada parlemen bahwa ia adalah "pekerja praktis untuk kemerdekaan Taiwan.” Hal tersebut mendorong surat kabar China yang banyak dibaca, Global Times, menyerukan agar pemerintah mengeluarkan surat penangkapan internasional untuk Lai dan menuntutnya berdasarkan UU Anti-Separatis China 2005.

Lai bersikeras bahwa yang dia maksud hanyalah Taiwan sudah menjadi negara yang independen. Selama kampanye, dia tetap mengikuti garis Presiden Tsai Ing-wen bahwa Republik China - nama resmi Taiwan - dan Republik Rakyat China tidak saling tunduk satu sama lain.

Di bawah konstitusi Taiwan, Republik China adalah negara berdaulat, pandangan yang dibagikan oleh semua partai politik utama di Taiwan. Pemerintah Republik China melarikan diri ke Taiwan pada 1949 setelah kalah dalam perang saudara melawan komunis Mao Zedong, yang mendirikan Republik Rakyat.

Yang membuat Beijing khawatir adalah gagasan bahwa Lai bisa mencoba mengubah status quo dengan menyatakan pendirian Republik Taiwan, sesuatu yang menurut Lai ia tidak akan ia lakukan.

BACA JUGA: China Sebut Capres Terdepan Taiwan Sebagai Bahaya Besar

“Saya pikir China membencinya, benar-benar membencinya,” kata Wu Xinbo, seorang profesor hubungan internasional di Universitas Fudan Shanghai. "Ini karena jika dia terpilih sebagai pemimpin Taiwan, dia mungkin akan datang untuk mendorong tujuan kemerdekaan Taiwan, yang akan memicu krisis di seluruh Selat Taiwan."

Meskipun China mengumumkan sanksi terhadap beberapa pejabat senior Taiwan, termasuk pasangan Lai, Hsiao Bi-khim, mantan duta besar de facto Taiwan untuk Amerika Serika (AS), Beijing belum menerapkannya kepada Lai. Diperkirakan karena Beijing tidak ingin sepenuhnya menutup pintu dalam berdialog dengan Lai.

Presiden Xi Diminta Santai

Selama kampanye, Lai mengatakan bahwa ia akan tetap mengikuti jalur Tsai yang menawarkan perundingan dengan China dan menjaga perdamaian serta status quo. Ia juga berjanji untuk mempertahankan pulau tersebut dan menegaskan bahwa hanya rakyatnya yang dapat menentukan masa depan pulau tersebut.

Stephen Tan, direktur manajemen International Policy Advisory Group di Taipei, mengatakan bahwa platform Lai mirip, jika tidak identik, dengan Tsai. Presiden tersebut dilarang mencalonkan diri kembali setelah menjabat dua periode.

Massa bersorak pada pertemuan Partai Progresif Demokrat di Taipei, Taiwan, Sabtu, 13 Januari 2024. (Foto: AP)

Lai berasal dari latar belakang sederhana di utara Taiwan, putra seorang penambang batu bara yang meninggal ketika ia masih kecil. Sebagai seorang dokter, Lai mengambil spesialisasi dalam bidang cedera tulang belakang.

Dia menjadi wakil presiden Tsai pada 2020 ketika mereka menang telak atas ancaman China terhadap Taiwan, mengingat tindakan keras Beijing terhadap protes anti-pemerintah di Hong Kong.

Sejak itu, China secara besar-besaran meningkatkan latihan militer di dekat Taiwan dan mengadakan latihan perang pada Agustus 2022 dan April lalu sebagai tanggapan atas keterlibatan Taiwan dengan AS.

Para pejabat Taiwan mengatakan pekan ini bahwa mereka memperkirakan China akan berusaha memberikan tekanan pada presiden yang akan datang, termasuk dengan melakukan latihan militer di dekat Taiwan, sebelum Lai menjabat.

BACA JUGA: Lai Ching-te Berhasil Menangkan Pilpres Taiwan

Pada Mei, pada sesi tanya jawab dengan mahasiswa di almamaternya, Universitas Nasional Taiwan, Lai mengatakan bahwa kepala negara yang paling ingin ia ajak makan malam adalah Presiden China Xi Jinping, yang ia sarankan untuk "sedikit bersantai."

Kantor Urusan Taiwan China mengatakan komentarnya "aneh" dan "menipu", mengingat "sifat kemerdekaan Taiwan" yang dia sampaikan tidak berubah.

Beijing menuntut pemerintah Taiwan untuk menerima bahwa kedua sisi Selat Taiwan adalah milik “satu China,” sesuatu yang ditolak oleh Tsai dan Lai. [ah/ft]