Orang mungkin menolak untuk menyantap apa yang disebut sebagai trash pizza (pizza sampah). Namun restoran Shuggie’s Trash Pie yang baru berdiri setahun ini di San Francisco menantang para pengunjung untuk mencobanya.
Bahan baku pizza tersebut bukan hasil mengais di tempat sampah. Restoran ini menggunakan topping dari bahan-bahan yang biasanya disortir untuk dibuang. Misalnya, jamur dan paprika yang jelek bentuknya, tomat yang warnanya sudah berubah, juga hati sapi giling untuk dibuat bola-bola daging.
Semua bahan itu betul-betul aman disantap, malah sering kali lezat rasanya, tapi orang lebih suka membuangnya. Gerakan food upcycled atau memberi nilai ekonomis baru pada makanan yang kian berkembang belakangan ini bertujuan untuk mencegah menumpuknya limbah makanan.
Kayla Abe, salah seorang pemilik Shuggie’s Trash Pie, mengatakan, "Kami seperti menjadi tempat orang-orang belajar mengenai limbah makanan untuk pertama kalinya, memperkenalkan gambaran bahwa ada banyak sekali limbah di sistem makanan kita. Saya kira ada begitu banyak orang yang membayangkan kami mengais tempat sampah atau menggunakan bahan-bahan yang membusuk. Tetapi sebetulnya kita punya sistem makanan yang sangat produktif yang menyumbang banyak sekali limbah. Kami hanya berusaha menggunakan kembali sebagian dari bahan-bahan itu dan membuat sistem yang lebih ramah lingkungan.”
The Upcycled Food Association atau Asosiasi Makanan Daur Ulang mengatakan lebih dari 35 juta ton makanan terbuang setiap tahun di AS, sekitar 40 persen makanan yang diproduksi negara ini, merugikan perekonomian AS lebih dari $200 miliar.
Your browser doesn’t support HTML5
Angie Crone, CEO asosiasi itu mengatakan,"Banyak makanan yang tidak dimakan atau dibuang dalam rantai pasokan kita disebabkan oleh standar kuno mengenai tampilan atau semacam persepsi bahwa itulah yang menurut kita dapat dimakan atau makanan yang berkualitas.”
Ia menambahkan bahwa itu bukanlah konsep baru, khususnya bagi para juru masak yang selalu memikirkan cara untuk dapat menggunakan semua bahan berkualitas tinggi yang mereka dapatkan. Bayangkan kalau daur ulang itu dilakukan pada skala industri, kata Crone.
Untuk meningkatkan kesadaran mengenai masalah ini, jaringan toko es krim yang berbasis di Portland, Salt & Straw Ice Cream kini menyajikan cita rasa yang menggunakan bahan-bahan daur ulang seperti roti lama, sabut kakao giling, yang biasanya dibuang waktu memproduksi cokelat.
Tyler Malek, salah seorang pendiri Salt & Straw Ice Cream, mengambil contoh cita rasa puding roti lama. Ia mengatakan, di sekolah kuliner Prancisnya, roti-roti sangat umum dibiarkan untuk dibuat pudding keesokan harinya.
"Kita sering dibuat percaya bahwa roti semacam itu sudah basi sehingga tidak berharga lagi. Sementara itu, kadang-kadang produksi pertanian begitu berlimpah sehingga yang paling mudah adalah membuang kelebihannya begitu saja. Malek mengatakan hal-hal itulah yang menekankan tentang perlunya merekondisi pikiran kita.
"Kami berupaya sedikit mengejutkan orang-orang agar mereka mulai berpikir tentang makanan dengan cara berbeda,” kata Tyler Malek.
Produsen es krim ini juga menggunakan produk-produk Renewal Mill, perusahaan makanan daur ulang berbasis di Oakland yang mengubah produk sela dari susu nabati menjadi bahan kebutuhan pokok seperti tepung roti.
Semua produk Renewal Mill maupun seri es krim baru Salt & Straw disertai dengan segel resmi “Upcycling Certified” atau bersertifikat daur ulang yang dikeluarkan Upcycled Food Association untuk meningkatkan kesadaran konsumen.
Tiga puluh produk mendapat segel tersebut sewaktu asosiasi itu pertama kali meluncurkan program ini pada tahun 2021. Sekarang ini ada 450 produk yang memiliki segel itu. [uh/ab]