Dinamika politik Indonesia tidak terlepas dari kehadiran Partai Golongan Karya (Golkar), yang lahir pada 1964 sebagai respons terhadap pengaruh Partai Komunis Indonesia. Didirikan oleh mendiang Presiden Soeharto dan Suhardiman, Golkar berhasil menjadi salah satu kekuatan politik tertua yang masih eksis hingga saat ini.
Pasca reformasi, elektabilitas partai berlambang pohon beringin itu mengalami pasang surut. Hal itu tak lepas dari citranya yang lekat dengan tampuk kekuasaan rezim Orde Baru. Dalam beberapa kali gelaran pesta demokrasi, Golkar bahkan harus berpuas diri berada di bawah posisi partai-partai yang baru lahir, seperti Demokrat dan Gerakan Indonesia Raya (Gerindra). Namun, harus diakui bahwa Golkar masih tak tergoyahkan dalam lingkaran partai tiga besar.
Golkar sendiri tak tinggal diam dan terus melakukan sejumlah terobosan untuk mempertahankan elektabilitasnya dengan mengikis kesan sebagai partainya penguasa. Dikutip dari situs website Golkar, partai tersebut bahkan mendeklarasikan dirinya sebagai partai politik modern yang tidak lagi menjadi mesin pemilu atau alat politik untuk melegitimasi kekuasaan.
Mempertahankan Elektabilitas
Hegemoni Golkar dalam pemilihan umum (pemilu) berakhir pada saat pesta demokrasi lima tahunan kembali digelar usai Presiden Soeharto lengser pada 1999. Saat itu Golkar harus legowo di posisi runner up. Mengutip data Statistik Badan Pusat Statistik, ‘si beringin’ hanya berhasil meraup 23.675.511 suara (25,97 persen) atau 120 kursi di parlemen. Artinya Golkar kehilangan 205 kursi dibandingkan Pemilu 1997. Saat itu, Partai PDI Perjuangan (PDIP) keluar menjadi juara dengan mengantongi 33,12 persen.
Namun pada Pemilu 2004, Golkar kembali menunjukkan taringnya dengan berhasil meningkatkan elektabilitas dengan raihan 23,09 persen. Tak bertahan lama, Golkar hanya berhasil bertengger di posisi kedua setelah Partai Demokrat pada Pemilu 2009. Saat itu Golkar meraih dukungan sebesar 14,45 persen atau 14.576.388 suara.
Golkar kembali menduduki peringkat kedua setelah PDIP pada Pemilu 2014 dengan 18.424.715 atau 14,75 persen suara. Namun pada Pemilu 2019 posisi Golkar melorot ke peringkat ketiga disalip PDIP dan Gerindra lewat peraihan suara sebanyak 12,31 persen.
“Ini suatu pukulan telak sebagai penguasa Orba,” ujar Umar Bakry, pendiri Lembaga Survei Nasional (LSN).
Jajak pendapat yang dilakukan oleh lembaga survei Indikator Politik Indonesia pada 20 Januari 2024 memproyeksikan komposisi pemenang tiga besar dalam Pemilu 2024 kemungkinan tidak bergeser dari perolehan 2019. Golkar diperkirakan akan kembali menduduki posisi ketiga, di bawah PDIP dan Gerindra, dengan mengantongi suara sekitar 11,2 persen.
Proyeksi raihan Pilpres 2024 tersebut hampir serupa dengan hasil jajak pendapat yang dilakukan Kompas pada Desember 2023 yang menyatakan Golkar diperkirakan akan menempati urutan ketiga setelah PDIP dan Gerinda, dengan suara sekitar 8 persen.
BACA JUGA: Sejarah Pemilu di Indonesia: Jejak Demokrasi dalam Sorotan WaktuPartai Anak Muda
Saat ini, Golkar berambisi untuk meningkatkan elektabilitas dengan terus melakukan perubahan besar-besaran. Salah satunya adalah dengan menunjukkan citra yang lebih segar dan relevan dengan generasi muda. Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto pada 21 Oktober 2023 menegaskan bahwa Golkar memang terus melakukan kaderisasi dan berkomitmen untuk mendidik kader di bawah usia 40 tahun.
Airlangga yang juga menjabat sebagai menteri koordinator perekonomian mengklaim Partai Golkar berhasil mencetak 20 orang kepala daerah yang usianya di bawah 40 tahun pada saat ini.
“Kalau generasi muda tidak kita bawa ke pemerintahan, siapa yang akan menyiapkan mereka ke depan,” kata Airlangga.
Presiden Joko Widodo turut melayangkan pujiannya terhadap Golkar dalam perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-59 pada 6 November 2023. Ia menyebut Golkar sebagai partai yang sangat memperhatikan pemikiran dan semangat generasi muda. Golkar juga dipuji karena berhasil menjalankan proses kaderisasi dan regenerasi.
Jokowi pada saat itu mengatakan Indonesia akan menghadapi bonus demografi pada 2030, di mana 68 persen penduduknya akan berusia produktif pada saat itu.
“Artinya generasinya generasi muda, pemikirannya didominasi pemikiran anak-anak muda, dan semangatnya juga didominasi semangat anak muda……Partai Golkar sebagai salah satu partai besar di Indonesia kelihatannya memiliki kepekaan soal ini,” ujarnya.
Partai Golkar memang berharap dapat menjadi magnet bagi anak muda. Wakil Ketua Badan Pemenangan Pemilihan Umum (Bappilu) Pusat DPP Golkar M. Arieh Pahlevi, sebagai dikutip dari Antara, pada 23 November 2023 mengatakan partai tersebut membidik anak muda untuk dapat mendulang suara pada rangkaian Pemilu 2024.
Selain menampilkan citra sebagai partai anak muda, Umar Bakry juga berpendapat Golkar mulai mendekati sosok-sosok beken untuk meningkatkan elektabilitas. Sosok-sosok tersebut di antaranya putra Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, yang tidak hanya menjadi calon wakil presiden yang diusung Golkar, tetapi juga digadang-gadang sebagai pemimpin partai di masa depan.
“Kalau Golkar nggak ambil strategi canggih untuk raih kaum muda, maka lewat. Gibran sebagai strategi yang efektif dan efisien. Apalagi di balik Gibran, ada sosok Jokowi,” tegasnya.
Namun, imbuhnya, selama Gibran belum memutuskan untuk berlabuh ke partai yang identik dengan warna kuning itu, maka Golkar belum bisa mengambil keuntungan dari situasi tersebut.
Meski Golkar terlihat gencar menggaungkan soal generasi muda, Umar beranggapan langkah tersebut sedikit terlambat saat ini.
Duet Prabowo-Gibran
Golkar ikut serta dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM) yang mengusung pasangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka. Melibatkan Prabowo yang mewakili kelompok usia tua dan Gibran sebagai wajah muda, hal tersebut seiring sejalan dengan kebijakan Golkar yang sedang fokus memperoleh dukungan dari generasi muda.
Keikutsertaan Gibran bukan hanya sekadar representasi anak muda, tetapi juga mencerminkan usaha Golkar dalam membangun hubungan dengan pemilih muda.
Airlangga mengakui bahwa representasi figur merupakan isu penting dalam keberhasilan memenangkan pemilu.
“Dari pasangan capres dan cawapres yang lain, usianya semua di atas 50. Kita tahu generasi muda merupakan generasi milenial dan generasi Z. Jumlah populasi generasi milenial dan generasi Z adalah 120 juta orang, 53 persen. Sehingga kami berharap Mas Gibran bisa memanfaatkan bonus demografi yang produktif ini,” ujarnya pada 21 Oktober 2023.
Seakan ingin mempertegas perbedaan generasi dengan cawapres lain, Gibran tampil mengenakan jaket berlogo serial manga Jepang, Naruto, dalam sesi debat cawapres putaran terakhir pada 21 Januari 2024. Bahkan pada segmen penutupan debat, Gibran juga menyitir istilah yang populer di kalangan muda: zaman now.
“Tantangan zaman, membutuhkan solusi zaman now. Tantangannya adalah bagaimana kita mencari titik tengah, titik keseimbangan," katanya.
BACA JUGA: Golkar Resmi Dukung Gibran Jadi Cawapres Dampingi Prabowo"Anak-anak zaman now perlu lebih banyak lagi dilibatkan. Terima kasih Pak Prabowo sebagai salah satu senior dan teladan yang paling banyak melibatkan anak-anak zaman now,” imbuh Gibran lagi.
Sejumlah sigi yang dilakukan lembaga survei memang menunjukkan pasangan Prabowo-Gibran selalu bertengger di urutan teratas dibandingkan duet Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD. Yang terbaru, hasil jajak pendapat Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada 10-11 Januari 2024 kembali menegaskan dominasi pasangan tersebut. Pasangan calon nomor 02 itu berhasil mengukuhkan posisi mereka sebagai pilihan favorit di kalangan pemilih dengan meraih dukungan hampir 47 persen
Padahal di sisi lain, banyak pihak yang menyuarakan keprihatinan atas kasus keputusan Mahkamah Konstitusi tentang syarat usia capres dan cawapres yang membuka jalan bagi Gibran untuk melaju ke bursa pencalonan orang nomor dua di republik ini. Selain itu, isu-isu pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan penculikan yang terjadi ketika Prabowo menjabat sebagai komandan jenderal Komando Pasukan Khusus (Kopassus) pada 1998 masih tetap menjadi sorotan bagi sejumlah pihak.
“Anak muda sekarang sudah nggak mempan dengan isu HAM, penculikan. Sudah nggak ada di dalam otak mereka. Sudah bukan di dunia mereka. Jadi sia-sia mengangkat isu-isu HAM dalam pilpres tahun ini,” tukas Umar Bakry. [ah/ft/rs/dw]