Promosikan Dialog Damai, Tiga Tokoh Agama Terima Gelar Kehormatan

  • Nurhadi Sucahyo

Kardinal Miguel Ángel Ayuso Guixot dari Vatikan, tokoh Muhammadiyah, Sudibyo Markus, dan Ketua PB NU Yahya Cholil Staquf menerima gelar doktor honoris causa dari UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Senin (13/2). (Foto: Humas UIN Sunan Kalijaga)

Kardinal Miguel Ángel Ayuso Guixot dari Vatikan, Ketua PB NU Yahya Cholil Staquf, dan tokoh Muhammadiyah, Sudibyo Markus, dinilai berperan signifikan dalam dialog antaragama di dunia.

Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta memberikan gelar doktor honoris causa kepada ketiga tokoh tersebut atas jasa mereka dalam mengedepankan dialog antaragama. Rektor kampus ini, Prof Al Makin, Senin (13/2) menyebut upaya ini sebagai bagian dari perjuangan perguruan tinggi yang dinahkodainya dalam merangkai harmoni umat beragama.

“Pemimpin satu komunitas adalah pemimpin bagi semua agama. Umat beriman harus menghargai dan meresapi makna iman dari umat lain. Beriman berarti bersiap untuk menerima hubungan antariman,” ujar Al Makin.

Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Prof Al Makin. (Foto: Humas UIN Sunan Kalijaga)

Baik Yahya Cholil Staquf, Sudibyo Markus maupun Kardinal Miguel Ángel Ayuso Guixot berbagi kisah hidup dan peristiwa-peristiwa penting yang menggiring mereka hingga penjuangan sampai saat ini. Ketiganya tumbuh dalam pertemuan antaragama yang membentuk keyakinan bahwa perdamaian hanya akan tercapai melalui saling pengertian.

Yahya misalnya, menceritakan bagaimana sejak muda dia menemui pemahaman terkait Islam yang seolah selalu menerima ancaman dari luar.

“Dan saya sangat sibuk dengan kecemasan untuk menemukan cara melawan ancaman dan serangan terhadap Islam. Tidak hanya di dalam negeri tetapi juga internasional. Tetapi, saya beruntung karena dalam situasi itu, yang saya temui bukanlah gerakan radikal atau teroris. Karena jika demikian, mungkin saya akan dengan mudah bergabung dengan mereka,” paparnya.

Ketua Umum PB NU, Yahya Cholil Staquf. (Foto: Humas UIN Sunan Kalijaga)

Yahya menjalani masa kecil dengan apa yang dia sebut sebagai rasa sakit melihat kondisi umat Islam di seluruh dunia. Di sisi lain, keluarganya yang tokoh Nahdlatul Ulama, menghadapi situasi yang sulit sepanjang rezim Orde Baru. Petualangan keagamaan Yahya menuntunnya dalam upaya mencari jawaban dari keresahan-keresahan itu.

Di tengah upaya itulah, dia menyadari bahwa bukan hanya dirinya yang cemas dengan kondisi Islam. Selain itu, dia juga menyadari bahwa ada banyak ajaran yang mudah mendorong anak muda untuk rela berkonflik dengan siapapun, yang dianggap mengancam Islam.

Namun, perjalanan keagamaannya juga memberi jawaban bahwa tidak mungkin sebuah perang keagamaan akan dimenangkan, baik oleh muslim maupun umat agama lain.

“Jika pertarungan terjadi dalam konflik yang meletus antara Islam dan agama lain, tidak akan ada pemenang. Semua akan menjadi pecundang. Karena yang akan terjadi adalah kehancuran total,” ujarnya.

Seorang pengendara melewati grafiti yang menyerukan toleransi di Yogyakarta. (Foto: AFP)

“Saya menyadari bahwa tidak ada cara yang lebih baik untuk membantu memperbaiki kondisi Islam, selain berjuang untuk memperbaiki kondisi seluruh umat manusia. Karena jika kemanusiaan menang, semua orang menang,” tegas Yahya.

Peran Besar Agama

Kardinal Miguel Ángel Ayuso Guixot pun berbagi kisah hidupnya dalam persinggungan dengan Muslim.

“Selama dua puluh tahun, sebagai pendeta Katolik saya menemani komunitas Kristiani yang tinggal di antara muslim di sepanjang lembah Nil, antara Mesir dan Sudan,” ujarnya.

Kardinal Miguel Ángel Ayuso Guixot. (Foto: Humas UIN Sunan Kalijaga)

Pengalaman itu membawa dia duduk sebagai presiden di Institut Kepausan untuk Studi Arab dan Islam (PISAI) di Roma, Italia. Kiprahnya berlanjut saat ini dengan dalam Dikasteri untuk Dialog Antaragama di Vatikan.

Miguel meyakinini agama-agama memiliki peran besar yang harus ditunaikan dalam menghadapi tantangan global saat ini.

“Agama dipanggil untuk berperan, karena adanya kebutuhan yang tinggi untuk mengubah benturan peradaban menjadi dialog peradaban,” ujarnya.

BACA JUGA: Setara Institute: 50 Rumah Ibadah Diganggu Sepanjang 2022, Jawa Timur Paling Intoleran

Komunitas agama harus menemukan cara baru untuk merevitalisasi tradisi klasik aslinya, menjadi kebutuhan untuk saling berhubungan dan berkolaborasi dalam suasana saling pengertian dan saling menghormati.

“Dalam masyarakat majemuk, tradisi keagamaan dan masyarakat memiliki tanggung jawab penting dan tanpa syarat untuk membangun masyarakat bersama-sama, daripada mendominasi satu sama lain,” tambah Miguel.

Sebagai kardinal, Miguel juga mengenal istilah yang kini berkembang, yaitu konsep Islam wasaṭiyyah atau islam yang toleran.

Your browser doesn’t support HTML5

Promosikan Dialog Damai, Tiga Tokoh Agama Terima Gelar Kehormatan

“Meskipun mustahil untuk memberikan terjemahan yang tepat, biasanya diterjemahkan sebagai "jalan tengah" atau "moderasi", atau “berada dalam batas-batas yang ada, tidak berlebihan” dalam beriman dan mengamalkan imannya,” paparnya.

Dia bahkan mengaku kagum dengan Sunan Kalijaga, tokoh penyebaran Islam di Jawa yang kemudian menjadi nama universitas, sebagai seorang nasionalis dan muslim moderat. Sunan Kalijaga dinilai berhasil menyebarkan Islam dengan merangkul budaya dan seni Indonesia.

Warga muslim terlihat berjalan menuju ke Masjid Istiqlal dengan latar belakang Gereja Katedral Jakarta pada 29 Maret 2013. (Foto: AFP)

Tantangan Berat Umat Beragama

Sementara Sudibyo Markus, yang tumbuh di tengah masyarakat plural di Jawa Timur, mengupas tantangan dialog antar agama.

“Kita memahami bahwa mempromosikan kemanusiaan global bukan tugas yang mudah, karena kita tahu dalam sejarah ada konflik berdarah yang panjang dari dua agama ibrahimiah ini. Antara Islam dan Kristen, tidak kurang dari 14 abad konflik penuh darah,” kata Markus.

Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 2005-2010, Sudibyo Markus. (Foto: Humas UIN Sunan Kalijaga)

Di sekolah-sekolah, konflik ini sering dikisahkan sebagai perang suci yang melahirkan sikap saling curiga antarpemeluk agama, sampai saat ini. Padahal, telaah lebih jauh akan melahirkan pemahaman bahwa perang panjang ini adalah soal berebut pengaruh dan kekuasaan, bukan perang antaragama.

Karena itulah, Markus mengajak umat berahama untuk menjadi manusia universal dan tidak menerapkan paradigma “kita versus yang lain”. Umat manusia juga harus saling menghormati kebutuhan mempromosikan pencerahan satu sama lain.

“Untuk menghindari primordialisme, dialog budaya harus dilakukan untuk mengatasi tantangan global dan masalah di komunitas, misalnya pemanasan global, pandemi seperti COVID, hingga kemiskinan ekstrem, dan isu lingkungan hidup,” tambah Markus. [ns/ah]