Salah satu situs pelanggaran HAM berat di Kabupaten Pidie, Provinsi Aceh, yakni Rumoh Geudong, telah dihancurkan oleh pemerintah setempat pada 20 dan 21 Juni lalu. Penghancuran itu dilakukan sebagai bagian dari persiapan memulai penyelesaian secara non-yudisial kasus pelanggaran HAM masa lalu.
Namun penghancuran situs itu menuai protes dari keluarga korban pelanggaran HAM berat Rumoh Geudong. Salah satunya Farida Haryani yang merupakan ketua komunitas korban Rumoh Geudong Aceh. Ia mengatakan, penghancuran tersebut sangat merendahkan martabat korban dan masyarakat setempat.
“Itu sangat menyedihkan dan mengecewakan bagi masyarakat Pidie khususnya Aceh karena persoalan menghilangkan sejarah itu. Tidak ada di dalam kamus apa pun untuk menghilangkan sejarah supaya kita melupakan,” ucapnya kepada VOA, Kamis (22/6).
Rumoh Geudong adalah tempat penahanan sewenang-wenang, penyiksaan, dan pembunuhan yang paling diingat oleh rakyat Aceh, terkait konflik yang berlangsung dari tahun 1989 hingga tahun 1998. Sejak tahun 2017, para penyintas dan masyarakat sipil memelihara bangunan itu sebagai bagian dari upaya untuk menuntut keadilan bagi para korbannya.
Para penyintas secara rutin menyelenggarakan doa bersama dan membangun tugu peringatan untuk mengingat kekerasan yang terjadi masa lalu dan mengenang keluarga yang telah pergi. Oleh karena itu, upaya korban dan penyintas untuk merawat sisa bangunan Rumoh Geudong serta membangun tugu peringatan menjadi ruang pemulihan korban dan pendidikan bagi generasi muda agar kekerasan yang sama tidak terulang lagi.
“Anak cucu korban tak akan menghilangkan ingatannya bahwa keluarga mereka yang dahulu dibawa ke Rumoh Geudong yang sampai saat ini tidak mengetahui kabarnya. Mereka anggap itu sebagai kuburan keluarga mereka,” katanya.
Your browser doesn’t support HTML5
Menurut Farida saat ini penyelesaian pelanggaran HAM berat Rumoh Geudong akan dilakukan oleh pemerintah. Namun sayangnya dari ribuan korban pelanggaran HAM berat Rumoh Geudong, hanya berita acara pemeriksaan (BAP) 26 orang yang diproses.
“Mereka mengambil sampel dari ribuan orang itu hanya 54 orang. Itu yang dijanjikan (awalnya) untuk diambil BAP sebanyak 54 orang. Tapi ternyata yang diambil BAP hanya 26 orang,” ungkapnya.
Pada 27 Juni 2023 mendatang, Presiden Joko Widodo (Jokowi) dijadwalkan mengunjungi Rumoh Geudong di Desa Bilie Aron Kecamatan Geulumpang Tiga, Kabupaten Pidie, Provinsi Aceh. Di lokasi itu Jokowi akan memulai penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu secara non-yudisial. Namun Farida menilai kedatangan Jokowi ke Rumoh Geudong dinilai sangat dipaksakan.
BACA JUGA: Sudah 15 Tahun, Perjanjian Indonesia-Aceh Dinilai Stagnan“Saya melihat persoalan politik yang sangat berat karena itu sangat memaksa dan dadakan. Katanya itu keinginan presiden. Kalau keinginan presiden ya pemerintah Aceh harus menyikapi secara bijak dan juga melibatkan masyarakat korban dari awal. Jadi jangan seolah-olah masyarakat korban dibuat cuma ingin bertemu presiden,” ujarnya.
Koordinator KontraS Aceh, Azharul Husna, mengatakan sangat menyesalkan penghancuran sisa bangunan Rumoh Geudong. “Penghancuran tersebut merupakan upaya penghilangan barang bukti, pengaburan kebenaran, penghapusan sejarah, dan memori kolektif rakyat Aceh atas konflik di Aceh sejak tahun 1976 hingga 2005,” ujarnya kepada VOA.
Menurut aktivis yang akrab dipanggi Husna ini, negara seharusnya memperkuat upaya korban dan masyarakat sipil yang telah berlangsung lama untuk merawat Rumoh Geudong.
BACA JUGA: Aktivis Desak Negara Akui Pelanggaran HAM Berat Masa laluBukan hanya itu, pemerintah juga harus memastikan bahwa memorial yang diupayakan menerapkan prinsip partisipasi berarti bagi korban dan berpusat pada kebutuhan serta kepentingan para penyintas berdasarkan prinsip-prinsip hak korban pelanggaran HAM. Pasalnya, pemerintah Kabupaten Pidie telah bekerja secara terburu-buru dan tidak berdasar dalam pendataan korban tragedi Rumoh Geudong.
“Mereka mengabaikan upaya pengungkapan kebenaran yang telah dilakukan oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh dan menihilkan inisiatif korban serta penyintas dalam membangun memorial di Rumoh Geudong,” katanya.
Husna menegaskan, pemenuhan hak korban pelanggaran HAM merupakan perwujudan hak konstitusional dan hak asasi yang paling mendasar. Negara, katanya, harus mematuhi standar internasional dalam membangun memorial, termasuk memastikan agar prinsip-prinsip hak korban pelanggaran HAM dipenuhi.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada keterangan lebih lanjut dari Pemkab Pidie atas penghancuran situs Rumoh Geudong. [aa/ab]