Protes merebak pada malam kedua, Kamis, di Louisville, Kentucky, setelah keputusan dewan juri untuk tidak menetapkan dakwaan pembunuhan terhadap salah satu dari tiga polisi kulit putih yang melakukan penggerebekan terkait narkoba, Maret lalu, yang menyebabkan Breonna Taylor, teknisi medis kulit hitam, tertembak mati.
Para demonstran turun ke jalan-jalan di pusat kota Louisville Kamis malam untuk mengungkapkan kemarahan dan frustrasi mereka atas putusan dewan juri. Sebagian demonstran menghancurkan kaca-kaca jendela. Polisi mengatakan sedikitnya 24 orang ditangkap.
Lebih dari seratus demonstran berlindung di Gereja First Unitarian setelah dimulainya larangan keluar rumah pada malam hari.
Sebelumnya pada hari Kamis, terjadi ketegangan sewaktu sekelompok lelaki kulit putih bersenjata berhadapan dengan demonstran, tetapi tidak ada satupun tembakan yang dilepaskan.
Wali kota Louisville Greg Fischer mengatakan dalam konferensi hari Kamis, “Apa yang kita lakukan dengan kepedihan ini?” Ia menambahkan bahwa tidak ada jawaban mudah untuk pertanyaan tersebut.
Taylor tewas sewaktu polisi memasuki apartemennya dalam penggerebekan narkoba dengan kebijakan no-knock atau tanpa pemberitahuan sebelumnya, yang diperbolehkan undang-undang untuk mencegah barang bukti dihancurkan.
Namun, Jaksa Agung Kentucky Daniel Cameron Rabu menyatakan bahwa seorang tetangga Taylor mendengar polisi mengumumkan kehadiran mereka sebelum memasuki apartemen Taylor dan bahwa penggerebekan mereka tidak bisa dianggap sebagai tindakan no-knock.
Cameron menyatakan para petugas “dibenarkan untuk menggunakan kekuatan” setelah kekasih Taylor, Kenneth Walker, yang menyatakan tidak mendengar pengumuman polisi itu, melepaskan tembakan terlebih dulu sewaktu polisi memasuki apartemen, karena mengira mereka adalah penyusup. Tidak ada narkoba yang ditemukan di apartemen Taylor. [uh/ab]