Sebuah kelompok hak-hak buruh yang berbasis di AS mengatakan kepada VOA bahwa keselamatan di tempat kerja dan kecelakaan pada Desember yang menewaskan dua pekerja memainkan peran kunci dalam memicu protes yang berubah menjadi kekerasan pada akhir pekan lalu di fasilitas peleburan nikel milik China di Indonesia.
Dalam protes itu, puluhan asrama dibakar dan peralatan dirusak. Dalam kekacauan itu, dua pekerja tewas, satu orang Indonesia dan satu orang dari China. Reuters dan Kedutaan Besar China di Jakarta mengatakan banyak yang terluka dalam huru-hara itu.
Terletak di Delong Industrial Park di Sulawesi Tengah, fasilitas PT Gunbuster Nickel Industry (GNI) dimiliki oleh Jiangsu Delong Nickel Industry Co. Ltd. dari China. Fasilitas ini merupakan proyek utama “Inisiatif Sabuk dan Jalan” (Belt and Road Initiative/BRI) di Indonesia, dan salah satu yang menjadi sorotan sebelumnya. BRI adalah inisiatif investasi dan pengembangan global China yang mencakup sekitar 150 negara.
Li Qiang, pendiri dan Direktur Eksekutif China Labor Watch, yang berada di New York, mengatakan kepada VOA bahwa bentrokan tersebut terjadi pada tahap ketiga dan terakhir pembangunan Delong Industrial Park. Pekerja dari China yang terlibat dalam fase ini lebih banyak daripada pekerja Indonesia, kata Li.
Li mengatakan kepada VOA bahwa kematian dua pekerja Indonesia pada bulan Desember disebabkan oleh kebakaran dini hari di pabrik peleburan itu. GNI mengatakan kebakaran dipicu korsleting listrik pada 22 Desember.
Menurut pernyataan GNI yang diperoleh Li, korsleting itu menyebabkan tidak berfungsinya mesin yang memicu ledakan di ruang penyimpanan bubuk batu bara. Selebriti Tik Tok Nirwana Selle, operator crane GNI berusia 20 tahun dengan 137.000 pengikut, dan Made Detri Hari Jonathan tewas dalam kecelakaan itu.
Kecelakaan tersebut menambah ketidakpuasan di kalangan pekerja Indonesia yang sudah kesal dengan cara GNI memperlakukan mereka. Hingga tahun lalu, perusahaan mengatakan telah mempekerjakan lebih dari 30.000 orang Indonesia, menurut pernyataan GNI yang diberikan oleh Li.
BACA JUGA: Setidaknya 2 Orang Tewas akibat Bentrok Pekerja Lokal dan TKA China di MorowaliSebelum bentrok, para pekerja Indonesia yang tergabung dalam Serikat Pekerja Nasional (SPN) menggelar rapat dengan perusahaan dan menyampaikan delapan tuntutan. Ini termasuk penerapan undang-undang keamanan dan keselamatan kerja Indonesia, penyediaan alat pelindung diri bagi pekerja, penghentian pemotongan upah, dan mempekerjakan kembali anggota SPN yang dipecat karena mogok kerja. Ketika perusahaan menolak tuntutan tersebut, para pekerja SPN melakukan aksi mogok pada 11-14 Januari.
Namun, kata Li, perusahaan membingkai pemogokan tersebut sebagai gerakan anti-China dan memberikan tongkat baja dan peralatan lain kepada pekerja dari China untuk menjaga fasilitas tersebut. Dia mengatakan perusahaan juga menahan gaji pekerja dari China sebagai alat kontrol. Sebagian pekerja belum menerima gaji mereka selama tiga sampai lima bulan.
“Para pekerja China sendiri adalah korban yang hak dan kepentingan tenaga kerjanya dilanggar,” kata Li. “Jika mereka tidak muncul untuk menjaga fasilitas mereka bahkan terancam kehilangan pekerjaan.”
VOA Mandarin mengirim email ke GNI untuk minta komentar atas tuduhan Li tersebut, tetapi belum menerima tanggapan.
Wang Wenbin, juru bicara Kementerian Luar Negeri China, mengatakan dalam jumpa pers rutin pada 16 Januari di Beijing bahwa Kedutaan Besar China di Indonesia telah menghubungi pihak berwenang setempat.
"China akan terus menjaga komunikasi yang erat dengan pihak Indonesia dan menggalakkan penyelesaian yang sah dan sesuai untuk insiden ini," katanya pada Senin (16/1), menurut Reuters.
Li juga mengatakan bahwa para pekerja dari China tidak mau berbicara dengan pers karena takut akan pembalasan dari perusahaan.
BACA JUGA: Kapolri: 17 Orang Ditetapkan Sebagai Tersangka Kasus Bentrok di Morowali UtaraTahun lalu, Delong Industrial Park melarang pekerja dari China berbicara kepada pers atau di media sosial tentang apa pun yang menurut perusahaan akan merusak reputasinya. Siapa pun yang melanggar aturan diancam denda hingga 100.000 RMB (sekitar Rp230 juta) dan bahkan pemutusan hubungan kerja.
Walaupun pihak berwenang Indonesia bergerak cepat untuk menangkap mereka yang diduga bertanggung jawab atas kerusuhan tersebut dan produksi telah dilanjutkan di fasilitas itu, ketegangan di pabrik tetap tinggi.
Analis mengatakan kepada VOA bahwa jika penyelidikan menyeluruh tidak dilakukan, ketegangan antara perusahaan China di tempat-tempat lain di Indonesia dan pekerja lokal berpotensi menyebar. [lt/ab]