Protes 'Women's March' di Washington Guncang Dunia

Para peserta protes Women's March di Washington, D.C. (21/1). (VOA/Eva Mazrieva)

Lebih dari setengah juta warga, terutama perempuan, Sabtu siang (21/1) berpawai di jantung ibukota Washington DC. Di antara mereka juga terdapat sejumlah artis dan selebriti dunia.

“Saya berunjuk rasa hari ini karena ingin mempertahankan hak-hak saya, hak perempuan, persamaan bagi semua orang. Kami ingin menunjukkan kepada Presiden Trump bahwa kami tidak menerima hal-hal yang ia yakini."

Itulah Alexis, ibu dua anak yang datang bersama teman-temannya dari Vienna, Virginia ke Washington DC sejak pagi. Hal senada disampaikan Renne, yang beberapa hari lalu datang dari Charlotte, North Carolina dan kini ikut berunjuk rasa bersama.

“Saya berunjuk rasa demi putri saya dan generasi perempuan mendatang. Mengapa? Saya ingin mereka tahu bahwa mereka tetap punya kesempatan yang sama dan bahwa saya berjuang demi mereka. Kami ingin suara kami didengar. Kami juga ingin suara-suara lain didengar. Kami ingin Presiden Trump tahu bahwa kami tetap akan berjuang dan tidak akan mundur."

Sejumlah Selebriti Ikut Ramaikan “Women’s March on Washington DC”

Alexis dan Renne adalah sebagian dari lebih setengah juta warga yang berunjuk rasa di sepanjang jalan Independence Avenue di jantung ibukota Washington DC, memprotes kebijakan-kebijakan yang disampaikan Presiden Donald Trump menjelang pelantikannya 20 Januari lalu dan sekaligus memperjuangkan hak-hak perempuan.

Sejumlah artis dan selebriti tampak hadir, antara lain bintang film Ashley Judd, America Ferrera, Jessica Chastain, Chloe Graze Moretz, Rossie Perez, Bella Thorne, penyanyi Cher, supermodel Chrissy Teigen, sutradara Michael Moore, hingga aktivis feminis Gloria Steinem.

Cher di Women's March di Washington D.C., 21 Januari 2017.

Ashley Judd dengan berapi-api mengajak massa untuk berani bersuara terhadap kebijakan baru Presiden Trump. Ia berulangkali menyapa massa dengan kata “nasty women” dan disambut dengan sama-sama berteriak “we are nasty women”. “Nasty women” adalah cemoohan Trump pada Hillary Clinton ketika masa kampanye, yang kemudian dijadikan slogan oleh para pendukung Clinton dan gerakan perempuan di Amerika.

Sementara aktris America Ferrera mengatakan “Presiden Trump bukan Amerika, kabinetnya bukan Amerika. Kita adalah Amerika dan kita akan menegaskan hal itu. Kita berunjuk rasa demi keluarga dan masa depan. Unjuk rasa ini untuk menunjukkan tanggungjawab kita pada negara”."

Pengunjuk Rasa Ingin Sampaikan Pesan Tegas pada Trump

Penyelenggara unjuk rasa ini mengatakan mereka ingin mengirim pesan kepada Presiden Trump pada hari pertamanya di Gedung Putih bahwa hak-hak perempuan adalah hak asasi manusia. Berbagai isu terkait hak-hak perempuan ikut digaungkan dalam unjuk rasa yang berlangsung sejak jam 8 pagi itu, antara lain isu kesetaraan jender dan ras, layanan kesehatan yang terjangkau, desakan mengakhiri kekerasan terhadap perempuan, terutama kekerasan dalam rumah tangga dan pemerkosaan di lingkungan kampus, hak aborsi, perlindungan warga difabel, perlindungan bagi imigran dan komunitas LGBTQ dan isu lingkungan hidup.

Ribuan orang mengikuti Women's March di Washington D.C., 21 Januari 2017.

Nancy, seorang nenek berusia 75 tahun yang datang bersama anak dan cucunya, mengatakan kepada VOA, ia sangat kagum melihat begitu banyak perempuan ikut berunjukrasa, menunjukkan rasa solidaritas dan menunjukkan bahwa hal itu tidak berlalu begitu saja pasca pemilu atau pelantikan. “Kami tidak takut, kami akan bersatu dan berjuang bagi semua orang."

Hal senada disampaikan Mary, yang datang dari Philadelphia bersama teman-temannya dengan kereta api Sabtu pagi. Ia tidak menyangka begitu banyak perempuan yang datang untuk menyampaikan kegundahan mereka.

“Ada begitu banyak perempuan di negara ini yang tahu bahwa mereka luar biasa. Mereka tahu bahwa kita harus bersatu dan saling melindungi, dan berjuang bagi mereka yang tidak bisa bersuara. Kita juga harus bersuara untuk mereka."

Lebih dari Setengah Juta Warga Ramaikan Unjuk Rasa di DC

Kantor berita Associated Press melaporkan hingga jam 11 siang saja, sudah lebih dari 275 ribu orang keluar dari berbagai stasiun kereta api di sekeliling lokasi unjuk rasa. Ini belum termasuk sekitar 1.800 bus yang digunakan pengunjuk rasa dan diparkir di taman-taman, yang berarti lebih dari 100 ribu orang datang hanya dengan menggunakan bis.

Sebaliknya pada hari Jumat (20/1) saat berlangsung pelantikan Presiden Trump, pada jam 11 siang jumlah massa yang menggunakan kereta api mencapai 193 ribu orang.

Protes 'Women's March' di AS dan Banyak Negara Lain

Tidak hanya perempuan, banyak pula laki-laki yang ikut serta dalam demonstrasi ini. Antara lain Jonas, laki-laki berperawakan tinggi besar yang mengaku berasal dari Perancis.

“Saya datang kesini untuk menyatakan bahwa saya menentang segala bentuk bullying. Cukup sudah melihat apa yang terjadi. Dan melihat begitu banyak perempuan datang dan bicara menyampaikan hak-hak mereka, saling memberi dukungan dan membantu satu sama lain, memberi kita harapan. Harapan bahwa semua hambatan akan bisa diatasi jika kita bersatu, dan kita tidak boleh kehilangan harapan itu."

Demikian pula Nicholas yang keturunan Afrika Selatan. “Saya ikut berunjuk rasa untuk mendukung persamaan bagi semua orang di Amerika. Kemarin saya merasa harapan saya mati. Tapi hari ini saya merasa masih bisa berharap pada masa depan. Hari ini semua orang gembira, datang bersama dan bergembira bersama."

Warga Tak Percaya Janji Trump dalam Pidato Pelantikan

Dalam pidato pelantikannya hari Jumat, Trump berjanji akan memimpin pemerintahan yang mewakili seluruh harapan warga Amerika. Tetapi para pengunjuk rasa hari Sabtu tidak percaya dengan janji itu. Marta Conte, yang mengaku berasal dari Partai Republik, terang-terangan mengatakan bahwa Donald Trump tidak mewakili nilai-nilai yang diyakininya dan juga nilai-nilai Partai Republik dimana ia bergabung 35 tahun lalu.

‘’Saya sangat ingin mengaktifkan kembali kelompok moderat di dalam Partai Republik untuk mengambil alih partai. Sistem dua partai saat ini tidak berfungsi ketika salah satu atau kedua pihak sama-sama terlalu ekstrem," ujar Conte.

Unjuk Rasa Juga Terjadi di Banyak Kota di Dunia

Penyelenggara ‘’Women’s March to Washington DC’’ mengatakan ada 673 unjukrasa serupa yang direncanakan di seluruh Amerika, terutama di kota-kota besar seperti New York, San Fransisco dan Boston, dan juga di negara-negara lain. Associated Press melaporkan ribuan warga, termasuk pekerja dan mahasiswa Amerika yang tinggal di Perancis, berunjuk rasa di sekitar Menara Eiffel di Paris dengan meneriakkan yel-yel "Hak Perempuan adalah Hak Asasi Manusia," serupa dengan yel-yel yang diteriakkan di Washington DC. Lebih dari 40 kelompok feminis dan anti-rasialisme ikut serta dalam unjuk rasa tersebut.

Pengunjuk Rasa di Sydney: “Isu Kebencian Bukan Hanya Masalah di Amerika”

Ribuan pengunjuk rasa juga memadati sebuah taman yang terkenal di kota Sydney, Australia, sambil membawa beragam poster dan spanduk, antara lain "Feminism is My Trump Card" dan "Fight Like a Girl." Penyelenggara unjuk rasa ini mengatakan "isu kebencian berlatar ras, jenis kelamin dan agama/kepercayaan bukan hanya masalah di Amerika."

Cuaca dingin tampaknya juga tidak menghalangi warga berunjuk rasa. Di Praha, ratusan orang juga berkumpul di Praha sambil membawa poster Trump dan pemimpin Rusia Vladimir Putin. Juga spanduk-spanduk berukuran besar yang bertuliskan “Ini Baru Awal”, dan “Cinta”.

Hal senada terjadi di London, Inggris, dimana ribuan pengunjukrasa memadati Trafalgar Square. Mereka juga membawa poster dan spanduk bertuliskan “Kami Rakyat” dan yel-yel senada dengan demonstrasi di tempat-tempat lain.

Meski tidak sebesar di Amerika, Perancis atau Australia, demonstrasi di Myanmar juga tidak bisa dianggap remeh. Puluhan perempuan berkumpul di sebuah taman di Yangon.

“Kami tidak bisa berunjuk rasa dalam iklim politik seperti di negara kami, tapi kami ingin berkumpul menunjukkan rasa solidaritas dengan saudara-saudara kami yang berunjuk rasa di Washington DC dan seluruh dunia atas apa yang mereka dan kami yakini," ujar Alyssa Paylor, seorang warga Amerika yang tinggal di Yangon.