Kementerian Perhubungan Indonesia dan tiga konsultan telah menolak rencana konsorsium yang didanai China untuk memulai operasi komersial penuh dari layanan kereta cepat pertama di negara itu yang bernilai $7,3 miliar pada bulan Agustus. Penundaan itu terungkap dalam sebuah dokumen internal yang sempat dikaji Reuters.
Proyek kereta cepat Jakarta-Bandung adalah proyek unggulan Presiden Joko Widodo, yang merupakan bagian dari Prakrasa Sabuk dan Jalan China. Proyek yang menghubungkan ibu kota Jakarta dan kota besar Bandung ini sedang dibangun oleh konsorsium perusahaan-perusahaan pemerintah Indonesia dan China.
Proyek pembangunan jalur kereta sepanjang 142 kilometer ini sebetulnya sudah $1,2 miliar melebihi anggaran awal dan empat tahun terlambat dari jadwal.
Sejumlah analis mengatakan, seandainya berjalan mulus, dan operasi komersialnya dapat dimulai pada perayaan Hari Kemerdekaan Agustus mendatang, proyek itu bisa menjadi kebanggaan partai yang berkuasa menjelang pemilihan umum tahun depan.
“Penundaan lebih lanjut hanya akan menjadi amunisi bagi pihak oposisi untuk menyerang,” kata Teuku Rezasyah, analis hubungan internasional di Universitas Padjadjaran, seraya menambahkan bahwa kemunduran itu akan menodai kredibilitas China untuk mengembangkan dan melaksanakan proyek-proyek besar di kawasan tersebut.
Berbulan-bulan sebelum peluncuran komersial yang diusulkan pada bulan Agustus, proyek ini dilanda masalah baru. Menurut dokumen presentasi setebal 48 halaman yang dievaluasi oleh Reuters, para peserta konsorsium China menginginkan sertifikat kelayakan operasional penuh untuk jalur tersebut meskipun stasiunnya belum lengkap.
Sebaliknya, Kementerian Perhubungan dan tiga konsultan -- Mott MacDonald, Price Waterhouse Coopers (PwC) dan firma hukum lokal Umbra -- telah menyarankan bahwa operasi komersial penuh hanya dapat dimulai pada Januari 2024, menurut laporan "Pembaruan Kemajuan" tertanggal 14 Mei.
"Ada risiko target operasi komersial pada Agustus bisa tertunda untuk menyelesaikan semua konstruksi pada 31 Desember," kata laporan yang ditulis dalam bahasa Indonesia itu.
PT Wijaya Karya Tbk (WIKA) -- sebuah perusahaan konstruksi milik pemerintah Indonesia dengan saham minoritas tidak langsung di konsorsium itu -- juga mempersoalkan kebutuhan modal kerja proyek, yang telah menelan setidaknya $381,75 juta dalam bentuk pembayaran terutang, kata dokumen internal itu.
Corporate Secretary WIKA Mahendra Vijaya mengatakan perseroan itu memiliki kemampuan finansial untuk menyelesaikan sisa pekerjaan, namun juga membutuhkan konsorsium tersebut untuk membayar pekerjaan yang sudah selesai.
Indonesia sedang bernegosiasi dengan China untuk tambahan pinjaman $560 juta dan meminta suku bunga 2,8 persen untuk porsi pinjaman dalam yuan, yang lebih rendah daripada tawaran China Development Bank (CDB) sebesar 3,46 persen, menurut dokumen tertanggal 18 Mei itu.
Kemungkinan penundaan lebih lanjut dan perincian lainnya dalam kedua dokumen tersebut belum pernah dilaporkan sebelumnya.
Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan Kemenko Kemaritiman dan Investasi Septian Hario Seto mengatakan negosiasi utang sedang dilakukan dengan CDB, dengan fokus pada suku bunga.
Proyek kereta cepat akan memulai uji coba gratis dengan penumpang pada pertengahan Agustus, dengan perjalanan berbayar diharapkan pada bulan September dan stasiun yang belum selesai kemungkinan akan selesai pada bulan November, tambahnya.
Kedutaan Besar China di Jakarta mengarahkan pertanyaan tentang tanggal operasi dan penerbitan sertifikat kepada pemerintah Indonesia.
"Saat ini, proyek tersebut sedang menjalani uji kelayakan terpadu," kata juru bicara kedutaan, Kamis.
PwC menolak berkomentar. Konsorsium yang didukung China PT KCIC, Mott MacDonald, Umbra, dan CDB juga tidak menanggapi permintaan komentar dari Reuters. [ab/uh]