Jala PRT bersama masyarakat sipil lainnya menggelar aksi berbagai daerah memperingati Hari Pekerja Rumah Tangga (PRT) Nasional pada Rabu (15/2). Antara lain di Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Makassar. Di Jakarta massa aksi yang terdiri dari berbagai organisasi membentangkan serbet raksasa di depan Gedung DPR RI.
Ketua Perempuan Mahardhika, Mutiara Ika menyampaikan aksi ini bertujuan untuk mendesak DPR RI agar segera membahas dan mengesahkan RUU Perlindungan PRT (PPRT).
"Saat ini kita akan terus berjuang bersama kawan-kawan gerakan lainnya untuk menuntut Ketua DPR RI. Setop cari alasan dan segera sahkan RUU PPRT," ucap Ika saat orasi di depan Gedung DPR, Jakarta (15/2/2023).
Ika menambahkan tidak ada alasan bagi Ketua DPR RI untuk tidak mengesahkan RUU ini. Sebab, kata dia, pemerintah sudah menyatakan dukungan secara langsung untuk pembahasan dan pengesahan RUU ini.
JALA PRT: RUU Ditunda, Korban Kekerasan Terus Bertambah
Sementara Koordinator Nasional Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT) Lita Anggraini mengatakan organisasinya dan masyarakat sipil lainnya telah memperjuangkan RUU ini selama 19 tahun. Menurutnya, penundaan pengesahan RUU akan membuat jatuhnya korban kekerasan dan pelanggaran hak-hak dari PRT terus bertambah.
"Korban-korban terus berjatuhan seperti kasus Khotimah dan lain-lain, yang baru ketahuan setelah 6 bulan disekap dan disiksa. Apa karena PRT dianggap wajar disiksa," ujar Lita kepada VOA, Selasa (14/2).
Khotimah yang disampaikan Lita, merupakan PRT asal Pemalang, Jawa Tengah yang mengalami penyiksaan dari majikannya di Jakarta pada akhir tahun lalu. Penyiksaan tersebut baru diketahui keluarganya setelah Khotimah pulang ke rumah di Pemalang. Karena itu, Lita mendorong DPR agar membahas bersama pemerintah jika ada alasan yang berbeda untuk mencari solusi bersama.
Jala PRT bersama masyarakat sipil lainnya mengancam akan menggelar aksi puasa yang akan diikuti 15 ribu PRT, keluarga PRT, dan para individu untuk mendorong pengesahan RUU PPRT.
Wakil Ketua DPR: Negara Wajib Lindungi Semua Lapisan Masyarakat
Menanggapi itu, Wakil Ketua DPR RI, Rachmat Gobel mengatakan menyambut baik usulan dari Jala PRT dan masyarakat sipil lainnya. Menurutnya, negara wajib memberikan perlindungan kepada semua lapisan masyarakat. Apalagi, kata dia, PRT memiliki peran yang signifikan dalam mewujudkan kesejahteraan keluarga majikannya.
"PRT mempunyai peran yang besar. Mereka bukan hanya sebagai alat pekerja semata, tetapi bagaimana (PRT) memiliki peran dalam membangun kehidupan rumah tangga yang baik," kata Gobel seperti dikutip dari laman DPR, Rabu (15/2/2023).
Ketua Panja: Belum Ada Kemauan Politik Puan Maharani Untuk Sahkan RUU PPRT
Sebelumnya, Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) Willy Aditya juga mengatakan Panja sudah berkirim surat tiga kali kepada pimpinan DPR agar RUU PPRT segera dibawa ke paripurna DPR. Namun, kata Willy, belum ada kemauan politik dari Ketua DPR Puan Maharani untuk pengesahan RUU PPRT.
"Alasan pimpinan itu terkendala di Puan. Tinggal bagaimana Puan memiliki policital will yang sama dengan Badan Legislasi dan pemerintah," ujar Willy kepada VOA, Minggu (12/2).
Menurut Willy, mayoritas fraksi di DPR telah setuju dengan pembahasan RUU PPRT. Meskipun masih terdapat dua fraksi yang menolak yaitu Fraksi Partai Golkar dan Fraksi PDI Perjuangan. Karena itu, ia menilai tidak ada alasan lagi bagi pimpinan DPR menolak RUU PPRT. Apalagi, kata dia, Presiden Joko Widodo telah memberikan dukungan agar RUU ini disahkan segera.
Satu-Satunya RUU yang Puluhan Tahun Mandek di DPR
RUU PPRT telah mengalami sejarah yang panjang. Pemerintah telah mengajukan RUU tersebut ke DPR sejak 2004. RUU itu juga masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) DPR 2019, tetapi hingga kini belum pernah dibahas di sidang paripurna DPR. Presiden Joko Widodo mendesak agar RUU yang satu ini masuk dalam daftar Prolegnas prioritas DPR 2023.
Adapun Hari Pekerja Rumah Tangga (PRT) Nasional diperingati setiap 15 Februari sejak 2007. Momentum ini lahir sebagai hasil refleksi atas peristiwa penyiksaan dan kekerasan terhadap PRT Anak (PRTA) berusia 14 tahun bernama Sunarsih.
Your browser doesn’t support HTML5
Sunarsih adalah korban perdagangan orang yang dipaksa bekerja di Surabaya, Jawa Timur.
Semasa bekerja, Sunarsih mengalami penyiksaan, perlakuan tidak manusiawi dari majikannya dan tidak menikmati hak-haknya sebagai pekerja dan anak. Hak-hak tersebut antara lain tidak diberi upah, jam kerja yang lebih dari 18 jam, diberi makan yang tidak layak, tidak mendapat akses untuk keluar rumah karena dikunci, tidak bisa berkomunikasi dan bersosialisasi dan tidur di lantai jemuran. Akibat seluruh perlakuan tersebut, Sunarsih akhirnya meninggal pada 12 Februari 2001.[sm/em]