Psikiater: Anak-anak Tangguh Hadapi Trauma

Anak-anak menunggu di luar SD Sandy Hook, Newtown, Connecticut, setelah penembakan massal Jumat (14/12). (Reuters/Michelle McLoughlin)

Para ahli mengatakan anak-anak pada umumnya sangat tegar mengatasi trauma, namun tetap berisiko mengalami gangguan stress jangka panjang.
Penembakan massal di Connecticut menimbulkan satu pertanyaan: Apa dampak psikologis bagi anak-anak yang bertahan?

Berapa pun umur seseorang, perlu waktu lama untuk mendapatkan rasa aman setelah terhindar dari suatu kekerasan. Mereka berisiko mengalami kegelisahan, depresi dan stress pascatrauma.

Namun setelah kesedihan dan ketakutan mereda, para psikiater mengatakan anak-anak di Newtown sepertinya akan dapat mengatasi trauma yang dihadapinya tanpa masalah emosional jangka panjang.

“Anak-anak cenderung sangat tegar,” ujar Dr. Matthew Biel, kepala psikiater anak dan remaja di Rumah Sakit MedStar Georgetown University Hospital.

Dan salah satu cara yang dilakukan anak-anak untuk mencoba mengatasi trauma adalah dengan bermain. Mereka bermain dengan boneka atau patung kecil dan merekonstruksi apa yang mereka saksikan, biasanya sampai berulang kali.

“Hal itu membuat mereka paham situasi yang membuat mereka kewalahan,” jelas Biel. Ia menambahkan orangtua boleh khawatir jika anak-anak terlihat stress ketika bermain.

Anak-anak yang terkena trauma kekerasan juga biasa bermain kejar-kejaran, berakting sebagai polisi dan penjahat, namun sekarang mungkin orangtua dapat melihat bahwa ada yang berpura-pura mati, ujar Dr. Melissa Brymer dari UCLA-Duke National Center for Child Traumatic Stress, lembaga yang mengatasi stress traumatis pada anak.

Di antara tantangan yang ada adalah melihat anak-anak mana yang menderita dan perlu pertolongan profesional.

Tragedi Newtown menyayat hati karena anak-anak yang masih sangat kecil harus menghadapi kekerasan dan beberapa diantaranya harus berlari melewati jenazah gurunya untuk melarikan diri.

Secara umum, para ahli mengatakan studi mengenai bencana alam dan perang memperlihatkan banyak anak-anak yang kemudian pulih dari pengalaman traumatis sementara sebagian kecil memiliki gangguan jangka panjang seperti gangguan stress pascatrauma (PSTD).

Brymer mengatakan bahwa dalam penelitiannya mengenai penembakan-penembakan di sekolah, 10 persen sampai 25 persen penyintas (survivor) mengalami gangguan, tergantung dari apa yang mereka alami. Sebuah studi pada 2007 menemukan bahwa 13 persen anak-anak di Amerika Serikat yang terpapar pada jenis-jenis trauma yang berbeda memperlihatkan beberapa gejala PTSD, meski kurang dari 1 persen yang memiliki gejala untuk diagnosis resmi.

Kekerasan tidak jarang terjadi pada anak-anak. Di banyak tempat di dunia, dan kota-kota kecil di Amerika juga, anak-anak berulangkali menyaksikan kekerasan. Mereka tidak menjadi terbiasa akan kekerasan, ujar Biel, dan paparan yang lebih banyak berarti risiko lebih tinggi untuk dampak negatif psikologis jangka panjang.

Di Newtown, anak-anak yang berisiko menghadapi masalah jangka panjang adalah mereka yang melihat orang dibunuh, ujar Dr. Carol North dari Pusat Medis Southwestern di University of Texas Southwestern, yang telah meneliti para penyintas penembakan massal.

Penembakan pada Jumat lalu sebagian besar terjadi di dua kelas Sekolah Dasar Sandy Hook, yang berisikan sekitar 450 murid kelas satu sampai empat.

Namun mereka yang tidak terlalu dekat pada bahaya juga memiliki risiko, jika hal tersebut bukan trauma pertama yang mereka lihat, atau mereka memang memiliki masalah kejiwaan yang meningkatkan kerentanan mereka, ujar North.

Setelah peristiwa yang traumatis, adalah normal untuk mengalami mimpi buruk, susah tidur, ingin dekat orang yang dicintai, gelisah atau murung, ujar Biel.

Untuk membantu anak-anak, orangtua harus mengikuti mereka. Menginterogasi anak mengenai pengalaman yang traumatis bukanlah hal yang baik. Beberapa anak akan mengeluarkan banyak pertanyaan dan mencari penghiburan, namun yang lain mungkin akan diam saja, memikirkan pengalamannya dan mungkin menulis, menggambar, atau mempraktikannya dalam permainan, ujar Biel. Anak yang lebih muda mungkin mengalami kemunduran, manja atau berulah.

Sebelum menginjak kelas dua, otak anak-anak berkembang dalam tahap yang disebut pemikiran yang ajaib, yang sulit membedakan antara realitas dan fantasi. Orangtua harus membantu mereka memahami bahwa teman yang meninggal tidak mengalami luka atau kesepian, tapi juga tidak akan kembali, ujar Brymer.

Jika ada masalah perilaku atau tanda-tanda stress yang berlanjut selama beberapa minggu, Brymer menyarankan evaluasi oleh konselor atau dokter anak.

Selain dukungan keluarga, North menyarankan anak-anak supaya kembali ke rutinitasnya, berada bersama teman-teman, dan kembali ke sekolah. Studi-studi mengenai para penyintas serangan teroris 11 September menunjukkan bahwa “kekuatan dukungan dari orang-orang yang mengalaminya dengan Anda sangat besar,” ujarnya.

Anak-anak kecil yang baru menginjak kelas 1 sekolah dasar dapat mengambil manfaat dari terapi perilaku kognitif, ujar biel. Mereka dapat menenangkan diri dengan teknik-teknik bernafas. Mereka juga dapat belajar mengidentifikasi dan menamai perasaannya, serta bagaimana menyeimbangkan, misalnya, pikiran yang kalut dengan keberanian.

Para ahli menyarankan anak-anak untuk tidak menonton siaran televisi mengenai penembakan tersebut, karena anak-anak dapat mengira hal itu terjadi lagi, tambah Biel.

Ia menemukan bahwa anak-anak yang menonton video 9/11 saat pesawat menghantam gedung World Trade Center berpikir bahwa mereka melihat puluhan serangan yang berbeda-beda. (AP/Lauran Neergaard)