Puluhan ribu orang di negara bagian Unity di Sudan Selatan terpaksa mengungsi akibat konflik antara pasukan pemerintah dan pemberontak.
SUDAN SELATAN —
Ketika ratusan milisi datang ke dusun Pathiet dan melepaskan tembakan membabi buta, Nayyiel Gatluok yang berusia 40 tahun segera membawa enam anaknya dan apa saja yang bisa ia angkut dan lari menuju rawa-rawa.
Sekitar 60 orang tewas dalam serangan 7 Februari di distrik Panyjiar itu– sebagian ditembak mati di rumah mereka atau ketika melompat ke air rawa.
Gatluok dan sekitar 100 lainnya kini tinggal dalam kondisi mengenaskan di pulau terdekat dari Nyal. Ribuan lainnya berada dalam kondisi serupa di lahan-lahan tersebut.
Dengan hanya satu kelambu dan kasur yang bisa dibawanya, keluarga Gatluok kini tinggal di pulau yang panas dan penuh debu itu, tanpa tempat berteduh yang memadai. Mereka hanya makan apapun yang jatuh dari sejumlah pohon kelapa sawit atau yang bisa digali dari rawa-rawa itu.
“Kehidupan disini sangat buruk,” kata Gatluok. Yang ia punya untuk anak-anaknya adalah air kotor dan satu-satunya makanan mereka, akar bunga teratai dan buah kelapa sawit.
Tetapi ia dan lainnya bertekad bertahan disana, hingga mereka yakin tentara pemerintah – beserta sejumlah polisi dan orang muda bersenjata dari negara bagian tetangga Lakes – tidak datang lagi untuk melakukan kekerasan lebih jauh.
Lainnya mengatakan mereka kehilangan semua harta benda karena tentara menjarah dan membakar rumah mereka dan mencuri sekitar 6.500 ekor sapi.
Sudan Selatan baru merdeka tahun 2011, enam tahun setelah berakhirnya perang saudara selama 20 tahun dengan Sudan. Tetapi sejak akhir Desember, perebutan kekuasaan antara para pemimpin negara itu telah berubah menjadi perang baru yang memecah rakyat berdasarkan etnis.
Tidak seorangpun menduga bahwa sengketa antara Presiden Salva Kiir, dari suku Dinka, dan mantan wakil presidennya Riek Machar, dari suku Nuer, akan merembet hingga ke desa-desa netral di distrik Panyjiar.
Bagi satu-satunya badan amal permanen disana "Sign of Hope", penyediaan layanan kesehatan semakin sulit. Direktur kelompok itu Klaus Stieglitz mengatakan klinik mereka dibakar dalam pertempuran dan mendapatkan obat-obatan bagi para korban cedera sangat mahal.
Perundingan perdamaian yang sedang berlangsung di Ethiopia tidak mengurangi kekejaman dan tragedi yang diam-diam meluas ke desa-desa di Sudan Selatan.
Sekitar 60 orang tewas dalam serangan 7 Februari di distrik Panyjiar itu– sebagian ditembak mati di rumah mereka atau ketika melompat ke air rawa.
Gatluok dan sekitar 100 lainnya kini tinggal dalam kondisi mengenaskan di pulau terdekat dari Nyal. Ribuan lainnya berada dalam kondisi serupa di lahan-lahan tersebut.
Dengan hanya satu kelambu dan kasur yang bisa dibawanya, keluarga Gatluok kini tinggal di pulau yang panas dan penuh debu itu, tanpa tempat berteduh yang memadai. Mereka hanya makan apapun yang jatuh dari sejumlah pohon kelapa sawit atau yang bisa digali dari rawa-rawa itu.
“Kehidupan disini sangat buruk,” kata Gatluok. Yang ia punya untuk anak-anaknya adalah air kotor dan satu-satunya makanan mereka, akar bunga teratai dan buah kelapa sawit.
Tetapi ia dan lainnya bertekad bertahan disana, hingga mereka yakin tentara pemerintah – beserta sejumlah polisi dan orang muda bersenjata dari negara bagian tetangga Lakes – tidak datang lagi untuk melakukan kekerasan lebih jauh.
Lainnya mengatakan mereka kehilangan semua harta benda karena tentara menjarah dan membakar rumah mereka dan mencuri sekitar 6.500 ekor sapi.
Sudan Selatan baru merdeka tahun 2011, enam tahun setelah berakhirnya perang saudara selama 20 tahun dengan Sudan. Tetapi sejak akhir Desember, perebutan kekuasaan antara para pemimpin negara itu telah berubah menjadi perang baru yang memecah rakyat berdasarkan etnis.
Tidak seorangpun menduga bahwa sengketa antara Presiden Salva Kiir, dari suku Dinka, dan mantan wakil presidennya Riek Machar, dari suku Nuer, akan merembet hingga ke desa-desa netral di distrik Panyjiar.
Bagi satu-satunya badan amal permanen disana "Sign of Hope", penyediaan layanan kesehatan semakin sulit. Direktur kelompok itu Klaus Stieglitz mengatakan klinik mereka dibakar dalam pertempuran dan mendapatkan obat-obatan bagi para korban cedera sangat mahal.
Perundingan perdamaian yang sedang berlangsung di Ethiopia tidak mengurangi kekejaman dan tragedi yang diam-diam meluas ke desa-desa di Sudan Selatan.