Purnawirawan Polri Tolak UU Keamanan Nasional

  • Wella Sherlita

Ketua Persatuan Purnawirawan Polri, Roesmanhadi (tengah), mewakili purawirawan Polri menyatakan menolak UU Kamnas (20/2).

Tidak hanya para aktivis dan pro demokrasi, sejumlah mantan jenderal polisi juga menolak UU Keamanan Nasional (UU Kamnas).

Sejumlah jenderal polisi mengakui bahwa sejak reformasi 1998 perkembangan situasi keamanan di Indonesia belum sesuai dengan harapan masyarakat. Sejumlah masalah keamanan --terutama di daerah belum dapat diatasi, dan terdapat perubahan pesat di bidang politik, ekonomi, dan sosial budaya, sementara kesadaran hukum masyarakat juga masih rendah.

Hal ini diungkapkan oleh Ketua Persatuan Purnawirawan Polri, Roesmanhadi, dalam diskusi mengenai UU Keamanan Nasional, di Jakarta, Senin.

“Kehadiran UU Kamnas ini sendiri menurut beberapa senior seperti kami dan juga kelompok masyarakat, bagaimana kita mengkritisi UU tersebut karena banyak subtansinya yang bertentangan. Pertama dengan UUD 1945 pasal 30 ayat 1 dan 5 itu tadi. Sehingga timbul pertanyaan apakah UU itu memang perlu? Juga apakah UU Darurat No. 23 Tahun 1959 yang sudah ada masih perlu diubah, atau digugurkan atau dibatalkan? Sebagaimana diketahui, ada UU No. 2 Tahun 2002 dan UU pertahanan No. 3 Tahun 2002, dan UU No. 34 Tahun 2004 soal TNI,” papar Roesmanhadi.

Di luar sejumlah UU yang disebutkan Roesmanhadi, masalah keamanan dan pertahanan juga sudah diatur dalam UUD 1945 hasil amandemen dalam pasal 30 ayat 1 dan ayat 5.

Sedangkan masalah yang mengatur kepolisian, pertahanan, dan keamanan TNI juga sudah ada dalam Tap MPR No 6 dan 7 tahun 2000. Roesmanhadi menilai, terdapat wilayah abu-abu yang memunculkan beberapa permasalahan di lapangan.

UU Kamnas juga seolah-olah mengisyaratkan suatu keadaan bahaya, padahal tidak satupun wilayah di Indonesia dalam keadaan darurat. Roesmanhadi mencontohkan, kondisi kerusuhan yang membutuhkan kendali pengamanan polisi di lapangan, yang seringkali membuat tindakan aparat jadi serba salah.

Kalaupun ada yang perlu ditegaskan oleh pemerintah, kata mantan Kapolri tersebut, adalah dana perbantuan TNI, yang selama ini berasal dari anggaran Polri.

Roesmanhadi menambahkan, “UU Perbantuan TNI dan Polri yang perlu diatur. Yang ada sekarang ini, kalau Polri minta bantuan kepada TNI maka Polri yang harus menyiapkan anggaran untuk perbantuan tersebut. Nah sedangkan dana di Polri sendiri sangat terbatas. Ini mungkin bisa diatur dalam ketentuan atau UU lain selama perbantuan itu dinyatakan darurat, itu bisa dijamin dananya dari dana contingency (dana cadangan darurat). Nah ini yang kami harapkan, sehingga tindakan polisi apapun ada naungan hukumnya. Kalau sekarang kami bertindak ‘kan serba salah.”

Di tempat yang sama, aktivis International Center for Transitional Justice (ICTJ), Usman Hamid, mengatakan anggaran Polri yang sekitar Rp800 Milyar memang paling minim. Menurut Usman, UU Keamanan Nasional mengandung banyak pasal bermasalah dan bertabrakan dengan UU lain. Misalnya, kewenangan kementerian tertentu, serta TNI dan BIN untuk memeriksa, menangkap, dan menyadap.

Di samping itu, keadaan darurat --seperti yang diatur dalam UU Kamnas, berpotensi menjadi ladang korupsi. Usman Hamid mengatakan, semua operasi darurat militer mulai dari Aceh hingga Papua, penggunaan anggarannya tidak pernah diaudit oleh BPK, atau dipertanyakan oleh DPR.

Usman Hamid mengungkapkan, “Dalam kasus operasi militer Aceh dulu tidak ada pertanggungjawaban demokratik yang efektif untuk mempertanggugajwabkan malah justru menjadi sumber korupsi, dalam soal helikopter dan lain-lain. Di Papua juag begitu, darimana anggarannya? Masak tiba-tiba ada laporan aparat kita menjalankan tugas dibayar oleh Freeport.”

Usman menegaskan, bahwa pemberlakukan darurat itu tetap harus sesuai kaidah, termasuk memberitahukan kepada PBB secara resmi.