Putusan MA Terkait Iuran BPJS Abaikan Prinsip Keadilan Sosial

  • Nurhadi Sucahyo

Gedung Mahkamah Agung Indonesia di Jakarta (foto: Wikipedia).

Mahkamah Agung pada 9 Maret 2020 telah membatalkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan. Perpres itu dikeluarkan Presiden Jokowi, antara lain untuk menaikkan iuran Badan Pengelola Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Kenaikan dua kali lipat yang berlaku sejak 1 Januari 2020 itu, dirasa perlu untuk menambal defisit BPJS yang mencapai lebih dari Rp 12 triliun pada 2018.

Prof Laksono Trisnantoro, menilai keputusan MA ini mengabaikan banyak hal. Laksono adalah Ketua Departemen Kebijakan dan Manajemen Kesehatan, Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan (FKKMK) Universitas Gadjah Mada. Laksono menyampaikan itu Senin, 16 Maret 2020 di kampus setempat, dalam pertemuan yang diselenggarakan secara daring terkait antisipasi virus corona.

Prof Laksono Trisnantoro dari FKKMK UGM menilai skema BPJS saat ini kurang adil sosial. (Foto: Humas UGM)

Laksono menyebut, seharusnya anggaran pemerintah pusat terfokus pada mereka yang miskin dan tidak mampu. Keputusan MA, lanjutnya, mengabaikan kemampuan negara dalam mendanai program kesejahteraan rakyat. Selain itu juga abai terhadap kemampuan sebagian masyarakat yang sebenarnya mampu mendanai sendiri kesehatannya, melalui askes komersial atau membayar langsung.

“Dari sini memang sudah terjadi kebijakan yang sangat populis. Sebagian orang sangat diuntungkan dengan kebijakan JKN (Jaminan Kesehatan Nasional). Sementara yang lainnya, yang PBI APBN itu dirugikan. Ini tidak mencerminkan kebijakan yang ke arah Pancasila, yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,” kata Laksono.

PBI APBN adalah Penerima Bantuan Iuran melalui anggaran negara yang merupakan kelompok masyarakat miskin.

BPJS Dinikmati Kelompok Mampu
Dalam putusannya, MA menyatakan Pasal 34 ayat 1 dan 2 Perpres Nomor 75 Tahun 2019 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Menurut MA, Pasal 34 ayat 1 dan 2 bertentangan dengan Pasal 23 A, Pasal 28H dan Pasal 34 UUD 1945. Selain itu juga bertentangan dengan Pasal 2, Pasal 4, Pasal 17 ayat 3 UU Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.

Melalui keputusan yang baru, Jokowi menetapkan besaran iuran untuk kelas III adalah Rp 42 ribu, kelas II Rp 110 ribu, dan kelas I Rp 160 ribu. Dengan pembatalan itu, besaran iuran kembali ke jumlah semula yaitu Rp 25.500 untuk kelas III, Rp 51 ribu untuk kelas 2 serta Rp 80 ribu untuk kelas 1.

Menurut Laksono, sebagian masyarakat sebenarnya memiliki dana cukup untuk membayar asuransi kesehatan atau jaminan komersial yang lebih besar dibandingkan BPJS. Kenaikan itu diprotes karenadianggap tidak adil. Banyak masyarakat mampu hanya dibebani iuran sebesar beberapa porsi nasi goreng saja setiap bulannya.

Meski begitu, keputusan MA ini tetap harus dipatuhi. Laksono menawarkan dua jalan keluar yang bisa ditempuh untuk menyehatkan keuangan BPJS.

“Pertama kita harus merevisi UU SJSN dan UU BPJS. Kemudian mengimbau masyarakat mampu tidak menggunakan BPJS dan tertib membayar,” ujarnya.

Menurut Laksono, kedua UU itu perlu revisi karena selama in belum pernah ada perdebatan ideologis mengenai penggunaan dana PBI APBN. Anggaran untuk masyarakat miskin dan tidak mampu ini ternyata terpakai untuk mereka yang mampu. Hal itu karena dari 30 juta peserta umum, sekitar 45 persennya menunggak iuran. Karena itu, selain merevisi undang-undang, pemerintah juga harus menekan penunggak untuk membayar utang iuran. Selain itu, disampaikan juga seruan moral agar masyarakat mampu membayar sendiri biaya kesehatannya, meski berhak memakai BPJS.

Proteksi Alokasi Anggaran
Tri Aktariyan, peneliti di Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan FK-KMK UGM mengatakan, putusan MA disebut terkait dengan rasa keadilan. MA melihat kenaikan yang ditetapkan bertentangan dengan kondisi ekonomi, sosial dan kebutuhan dasar hidup layak masyarakat yang saat ini tidak baik.

Tri Aktariyan menyampaikan paparan melalai platform webinar karena kebijakan kampus UGM terkait Virus Corona. (Foto: screenshot)


Namun, menurutnya, kesimpulan MA itu diyakini tidak berdasarkan data yang komprehensif. Dalam proses litigasi antara MA dan penggugat, Tri Aktariyan menduga pihak BPJS tidak mengungkapkan data-data terkait bagaimana penggunaan dana selama ini.

“Sehingga terjadi ketidakpahaman dari Mahkamah Agung, mengenai situasi yang tengah terjadi dalam penyelenggaraan JKN, yang mana sesungguhnya pada 2014 hingga saat ini, yang banyak menghabiskan dana JKN itu adalah penggugat dalam putusan MA itu sendiri,” ujar Tri.

Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan FK-KMK UGM mencatat selalu ada surplus atau dana tidak terpakai dalam segmen PBI APBN atau masyarakat miskin dan tidak mampu. Jumlah dana tidak terpakai di segmen ini sekitar Rp 41 triliun dalam kurun 2014- 2020. Dana tersisa karena masyarakat miskin tidak maksimal menggunakan haknya. Sementara di segmen PBPU yang merupakan masyarakat mampu, justru terjadi defisit Rp 93 triliun selama 2014-2019. Artinya, dana orang miskin telah digunakan untuk membiayai kesehatan kelompok masyarakat mampu.

Jika ini terus terjadi, Laksono Trisnantoro mengusulkan adanya upaya proteksi pendanaan. Alokasi anggaran kesehatan untuk masyarakat miskin, betul-betul hanya untuk mereka yang berhak. Jika perlu pengelolaan keuangannya dibuat terpisah. Masyarakat mampu kemudian dibuatkan skema BPJS sendiri, sehingga dana untuk mereka berputar untuk segmen itu saja.

Evaluasi Sistem Pengelolaan

Menyikapi Keputusan MA, Koordinator Nasional Masyarakat Peduli BPJS, Hery Susanto meminta Presiden Jokowi mengambil tindakan.

Your browser doesn’t support HTML5

Putusan MA Terkait Iuran BPJS Abaikan Prinsip Keadilan Sosial

“Mengevaluasi total tata kelola Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) oleh BPJS Kesehatan, dan perlu melakukan perbaikan kepastian pelayanan kesehatan JKN, sesuai 9 prinsip BPJS dan tidak menjadi beban rakyat. Pengusaha, pekerja dan masyarakat sudah bergotong royong dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional bidang kesehatan, melalui BPJS Kesehatan,” kata Hery.

Dia mengingatkan kembali, pelayanan kesehatan adalah hak asasi warga negara dan menjadi tugas negara, sesuai amanah UUD 1945, UU SJSN, UU BPJS dan lainnya.

Hery melihat carut marut ini bertitik pangkal pada sistem, bukan hanya soal iuran. Karena itu, dia mendorong pergantian Direksi dan Dewan Pengawas BPJS Kesehatan.

“Kita akan terus monitor proses seleksi Direksi dan Dewas tahun ini sejak pembentukan panitia seleksi. Kuncinya di Presiden, untuk menormalisasi pengelolaan JKN dan manajemen BPJS kesehatan di masa datang,” tambah Hery. [ns/uh]