Putusan Mahkamah Agung AS Lindungi Karyawan LGBT di Tempat Kerja

  • Associated Press

Para pendukung hak-hak kaum LGBT di luar Mahkamah Agung AS di Washington D.C, 8 Oktober 2019. (Foto: AFP)

Mahkamah Agung AS pekan lalu memutuskan bahwa karyawan LGBT tidak bisa dipecat karena orientasi seksual dan identitas gender mereka. Putusan itu akan melindungi jutaan LGBT dari diskriminasi di lingkungan kerja. Pendukung LGBT menyambut gembira putusan itu.

Kantor berita Associated Press melaporkan putusan Mahkamah Agung AS pekan lalu, yang mengatur bahwa Undang-undang Hak Sipil Tahun 1964 juga melindungi komunitas gay, lesbian dan transgender (LGBT) dari tindak diskriminasi di lingkungan kerja, diperkirakan akan berdampak positif terhadap sekitar 8,1 juta pekerja LGBT di negara tersebut.

Pasalnya, sebagian besar negara bagian di Amerika tidak melindungi mereka dari diskriminasi pekerjaan.

Melalui pemungutan suara, enam dari sembilan majelis hakim memutuskan bahwa ketentuan kunci dalam undang-undang yang melarang diskriminasi berdasarkan jenis kelamin itu, mencakup bias terhadap pekerja LGBT. Artinya, perusahaan atau pihak pemberi kerja tidak dapat memecat karyawan dengan alasan mereka gay, lesbian, biseksual ataupun transgender.​

Keputusan itu disambut gegap-gempita oleh para pendukung LGBT.

Pete Buttieg, mantan wali kota South Bend, menjadi kandidat calon presiden gay pertama dari Partai Demokrat, 11 Februari 2020.

Brian Silva, pendiri sekaligus direktur eksekutif lembaga non-profit, menilai keputusan itu lebih baik dari yang diharapkannya.​

“Keputusan itu tidak ambigu. Keputusan itu jelas. Keputusan itu langsung (menyatakan) bahwa warga Amerika LGBTQ berhak diperlakukan sama seperti yang lainnya di lingkungan kerja, serta dinilai berdasarkan bakat dan kepantasan mereka, juga kontribusi yang mereka berikan; bukannya berdasarkan dengan siapa mereka menikah dan bukan juga berdasarkan identitas gender atau hal semacamnya," ujar Brian.

BACA JUGA: Mahkamah Agung AS Larang Pemecatan Pegawai Atas Dasar LGBT

Keputusan Mahkamah Agung AS itu bermula dari tiga kasus pemecatan karyawan yang diklaim akibat diskriminasi LGBT. Dari tiga kasus tersebut, hanya tersisa satu penggugat yang masih hidup, yaitu Gerald Bostock.

Gerald mengklaim dirinya dipecat dari Departemen Layanan Kesejahteraan Anak di Clayton County, Georgia, pada 2013, karena dirinya gay. Gugatannya terkait pemecatan itu sempat ditolak oleh Pengadilan Banding di Atlanta, Georgia, sebelum ia ajukan ke Mahkamah Agung.

Seorang pendukung LGBT mengibarkan "bendera kesetaraan" dalam unjuk rasa menentang rencana pemerintah AS melarang kaum LGBT berkarier di militer, di Capitol Hill, Washington, 26 Juli 2017.

Keputusan Senin (15/6) lalu menjadi kemenangan tersendiri bagi Gerald.

“Saya terhanyut dalam emosi dan rasa syukur...," ujar Gerald.

"Ketika saya kehilangan pekerjaan, pekerjaan itu adalah impian saya. Jadi, bayangkan Anda menjalani pekerjaan impian Anda setiap hari, yang Anda nikmati, lalu tiba-tiba direnggut dari Anda gara-gara Anda memutuskan untuk bergabung dengan liga sofbol gay," katanya.

Your browser doesn’t support HTML5

Putusan Mahkamah Agung AS Lindungi Karyawan LGBT di Lingkungan Kerja

Akibat pemecatan itu, kata Gerald, dia harus kehilangan asuransi kesehatan. Padahal ketika itu Gerald sedang dalam proses penyembuhan dari penyakit kanker prostat.

"Saya kehilangan teman dan banyak kolega. Saya terpaksa menjual rumah saya di sana. Perjalanan yang saya lalui sangat sulit,” tuturnya.

Meski demikian, keputusan pekan lalu tentang perlindungan bagi pekerja LGBT bukanlah akhir dari masalah hak-hak LGBT. Sejumlah gugatan hukum lain masih ‘antre’ untuk disidangkan, di antaranya perihal partisipasi atlet transgender dalam kompetisi olahraga di sekolah hingga masalah segregasi toilet dan ruang loker berdasarkan gender. [rd/jm]