Kepala Pusat Vulkanologi Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Andiani memaparkan lembaganya sudah mencatat adanya peningkatan aktivitas Semeru sejak beberapa hari sebelum erupsi. Pada 1 Desember 2021, bahkan terjadi awan panas guguran dan kondisi itu mereka laporkan kepada para pemangku kepentingan di daerah, melalui grup di aplikasi percakapan Whatsapp.
“Dan kami pada tanggal 2 Desember juga sudah mengeluarkan surat kepada Bapak Bupati Lumajang, mengenai kondisi kekinian beserta imbauan yang kami sampaikan di dalam surat tersebut. Imbauan tanggal 2 Desember juga kami sampaikan kepada Ibu Gubernur Jawa Timur,” kata Andiani dalam sesi pertemuan dengan media, Minggu (5/12) siang.
Andiani menegaskan PVMBG tidak melakukan prediksi atau perkiraan apakah sebuah erupsi akan terjadi atau tidak. Lembaga itu bertugas mengawasi apa yang terjadi terkait aktivitas gunung berapi. Jika ada informasi yang menurut PVMBG penting untuk disampaikan kepada pemangku kepentingan, dalam hal ini pemerintah daerah dan masyarakat, mereka akan menyampaikannya.
“Karena prediksi itu nanti akan bicara besar atau volume awan panas guguran. Ini memang sampai sekarang belum bisa kami tentukan,” tandasnya.
Namun dia mengingatkan sekali lagi, bahwa informasi terkait awan panas guguran di Semeru, telah disampaikan sejak 1 dan 2 Desember 2021.
Terkait status Semeru sendiri, menurut PVMBG, sampai saat ini masih Waspada. Status gunung berapi ditentukan oleh peningkatan aktivitas sesuai pengamatan yang dilakukan PVMBG, baik visual maupun melalui sejumlah peralatan. Aktivitas gempa yang terjadi di Semeru sampai saat ini tidak menunjukkan adanya gempa-gempa tektonik dalam. Gempa semacam itu menunjukkan adanya pergerakan magma ke permukaan.
Artinya, awan panas guguran yang terjadi pada Sabtu (4/12), lebih dipengaruhi faktor eksternal berupa cuaca buruk, bukan oleh aktivitas gunung itu sendiri.
Evaluasi akan terus dilakukan dalam beberapa hari ke depan, untuk menentukan status Semeru lebih lanjut.
PVMBG juga sejak lama telah mengajak pemerintah daerah dan masyarakat mewaspadai bahaya erupsi Semeru dengan menentukan Kawasan Rawan Bencana (KRB). Peta KRB telah dibuat dan disosialisasikan agar masyarakat paham posisinya dalam peta tersebut.
“Peta KRB ini menunjukkan sejarah kejadian ancaman bencana yang terkait dengan erupsi Semeru yang terjadi di masa lalu. Peta ini dibuat berdasarkan batuan vulkanik yang dikeluarkan oleh erupsi Semeru,” tambah Andiani.
Mereka yang mengalami luka bakar akibar erupsi tersebut bisa dipastikan berada di kawasan KRB III. Sedangkan korban-korban yang terkait banjir lahar, berada di kawasan lebih hilir.
BACA JUGA: Banyak Korban Erupsi Semeru Belum TertolongRekomendasi PVMBG sampai saat ini masih sama, yaitu agar masyarakat menghindari kawasan 1 kilometer dari puncak Semeru. Khusus di kawasan kawah bukaan sisi selatan dan tenggara, kawasan yang wajib dihindari meluas hingga 5 kilometer.
Pada Desember 2020, Semeru juga mengalami erupsi serupa dengan jarak awan panas guguran mencapai 11 kilometer. Pada 4 Desember 2021, jarak awan panas guguran justru hanya 4 kilometer.
Kepala Badan Geologi, Eko Budi Lelono, memastikan lembaganya akan melakukan evaluasi terkait apa yang terjadi. Selama ini pemantauan Semeru sudah dilakukan selama 24 jam penuh, dan apa yang terjadi tercatat dengan baik. Pihaknya juga sudah mengidentifikasi adanya awan panas guguran yang merupakan ciri khas Semeru. Kajian akan dilakukan untuk memastikan, mengapa erupsi terjadi dengan korban cukup besar.
“Ada faktor lain, dalam hal ini faktor eksternal. Adanya cuaca yang buruk, yaitu hujan yang mungkin memperpanjang aliran dari awan panas dimaksud. Hal-hal seperti ini tentu menjadi perhatian kita bersama ke depan,” ujar Eko.
Eko menjelaskan, endapan awan panas guguran yang terjadi pada Sabtu, terdiri dari material batuan bersuhu 800-900 derajat celsius. Awan panas guguran ini bergerak ke arah tenggara kaki Semeru, dan membentuk aliran lahar sepanjang Sungai Kobokan.
Lebih jauh, Eko meminta masyarakat mewaspadai potensi awan panas guguran, guguran lava dan lahar di sepanjang aliran sungai atau lembah yang berhulu di puncak Semeru. Aliran-aliran sungai yang harus mendapat kewaspadaan adalah Sungai Kobokan, Bang, Kembar dan Sat.
BACA JUGA: Jumlah Korban Tewas Akibat Letusan Gunung Semeru Jadi 13Eko menyadari, awan panas guguran adalah rutinitas Semeru, dan potensi bencana besar seperti yang terjadi saat ini adalah sesuatu yang mungkin terjadi.
“Kami berkoordinasi dengan kementerian dan lembaga yang lain, misalnya dengan BMKG, yang memprediksi potensi curah hujan di daerah gunung Semeru dan sekitarnya,” tambah Eko.
Dalam sejarahnya, catatan terkait erupsi Semeru pertama kali dibuat pada 8 November 1818. Setelah itu, Semeru relatif rutin mengalami erupsi. Jika ditilik dalam 30 tahun terakhir, Semeru mengalami erupsi pada 1990, 1992 1994, 2002, 2004, 2005, 2007, 2008, 2016, 2019 dan 2020. Erupsi yang terjadi berkisar pada November, Desember, Januari atau Februari. [ns/ah]