Berlakunya Qanun nomor 11 tahun 2018 mendorong bank-bank konvensional pergi dan mengucapkan selamat tinggal ke masyarakat Aceh. Sistem syariah akan menjadi satu-satunya pilihan, meski masih mengundang kontroversi.
Safarudin SH, pada 3 Desember 2020 melayangkan gugatan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat kepada Bank Mandiri, Bank Central Asia (BCA) dan Bank Rakyat Indonesia (BRI). Direktur Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA) yang juga nasabah ini tidak menerima keputusan manajemen ketiga bank itu menutup layanan di Aceh.
Alasan Safarudin, jika dia bertahan menggunakan layanan konvensional seperti sekarang, akunnya akan dipindahkan ke luar Aceh. Konsekuensinya, jika nasabah memerlukan layanan di kantor, mereka harus menempuh jarak cukup jauh. Dari bank yang mengelola dananya, Safarudin diberi batas waktu pemindahan sampai Juli 2021.
“Kalau tidak mengalihkan ke syariah enggak apa-apa, tetapi rekeningnya dipindahkan dari Aceh ke kantor area Medan. Oke nggak apa-apa dipindahkan, tetapi ketika besok terjadi misalnya hilang ATM, buku rusak, saya butuh yang baru, saya kan tidak bisa di Aceh, harus ke Medan,” kata Safarudin ketika dihubungi VOA.
Tidak hanya itu, Safarudin juga khawatir akan mengalami kendala ketika melakukan transaksi melalui bank syariah, terutama dalam pembayaran belanja online. Nasabah di Aceh kemungkinan juga akan dikenai biaya tambahan biaya ketika melakukan transaksi dengan akun bank konvensional di luar Aceh.
Gugatan Safarudin masih berlangsung di PN Jakarta Pusat, dan saat ini sedang memasuki replik-duplik untuk kemudian akan ada putusan sela beberapa waktu ke depan.
Ada Salah Kaprah Pemahaman
Namun, ada alasan lebih kuat yang mendasari gugatan Safarudin ke bank-bank itu. Dia meyakini, penutupan layanan bank konvensional di Aceh tidak memiliki dasar hukum. Qanun 11/2018 tidak mengatur penutupan bank konvensional, tetapi tentang lembaga keuangan syariah. Dia mengakui ada dua pasal abu-abu, karena hanya menyebut lembaga keuangan dan bukan secara spesifik lembaga keuangan syariah. Pasal-pasal itu kini diartikan bahwa lembaga keuangan non-syariah termasuk yang turut diatur.
“Qanun ini lahir dari penjabaran pasal 21 Qanun 8/2012 tentang pokok-pokok syariah Islam. Pasal 21 ayat 2 disebutkan, lembaga keuangan konvensional yang sudah beoperasi di Aceh harus membuka unit usaha syariah. Jadi, kalau seperti itu tidak mungkin Qanun 11/2018 akan bertentangan dengan Qanun induknya. Dalam naskah akademiknya juga tidak menyinggung bahwa kalau ini berlaku bank konvensional harus menutup operasionalnya. Ini salah kaprah,” tambah Safarudin.
Safarudin mengingatkan, pemberlakuan syariah adalah keistimewaan bagi Aceh, yang menjadi nilai tambah bukan justru mengurangi yang ada. Penutupan layanan bank konvensional ini dia nilai menjadi kemunduran bagi Aceh. Justru jika bank konvensional dan syariah sama-sama beroperasi akan menjadi kelebihan.
Dua pekan lalu, Safarudin menerima salinan surat dari Gubernur Aceh kepada para pimpinan bank, yang menyatakan bahwa di Aceh hanya bank syariah yang bisa beroperasi. Surat ini, dia terima di sela jawaban bank-bank yang digugatnya di PN Jakarta Pusat. Safarudin mengaku upayanya belum berakhir, dengan menghubungi DPR Aceh untuk meneliti lebih jauh, mengapa sampai muncul salah kaprah ini.
Hingga saat ini, bank-bank yang berada dalam proses menutup operasional sistem konvensional di Aceh adalah Bank Panin, CIMB Niaga, BRI, BCA, Mandiri dan BNI.
Bentuk Dukungan Kebijakan
Sekretaris korporat BRI, Aestika Oryza Gunarto, ketika diminta tanggapan terkait penutupan operasional mereka di Aceh menyatakan ini sebagai bentuk dukungan kebijakan setempat.
“BRI mendukung penuh kebijakan pemerintah daerah, terkait penerapan Qanun Lembaga Keuangan Syariah Nomor 11/2018. Sebagai implementasinya kami secara bertahap telah mengalihkan portofolio simpanan dan pinjaman serta operasional layanan kepada BRIsyariah,” kata Aestika.
Dia juga memastikan kinerja keuangan BRI secara keseluruhan tidak terdampak signifikan. Bank ini secara bertahap telah mengalihkan portofolio simpanan dan pinjaman, serta operasional layanan kepada BRIsyariah. Langkah itu sudah dilakukan sejak bulan Juli 2019 hingga akhir tahun lalu.
Your browser doesn’t support HTML5
BRIsyariah sendiri saat ini telah melakukan merger dengan bank syariah pelat merah lain, dan menjadi Bank Syariah Indonesia (BSI).
Layanan di Aceh juga tetap akan sebaik apa yang dicapai BRI sebelum ini, katanya
“Sebagai entitas, BRI Group berkomitmen untuk menyediakan produk dan jasa keuangan yang terintegrasi, mulai dari layanan perbankan konvensional maupun syariah, asuransi jiwa, asuransi umum, sekuritas, remitansi dan multifinance kepada seluruh lapisan masyarakat,” kata Aestika.
Seluruh kantor dan e-channel BRI di Aceh saat ini telah dialihkan kepada Bank Syariah Indonesia, meliputi 11 kantor cabang, 15 kantor cabang pembantu dan 94 BRI Unit. Sementara untuk e-channel, terdapat 444 Anjungan Tunai Mandiri (ATM) yang telah digunakan oleh BSI. Dari sisi sumber daya manusia, sekurangnya 69 persen telah diserap untuk menjalankan Kantor BSI, baik di kantor regional maupun cabang. Sisanya tetap bekerja di BRI, tetapi berada di luar Aceh dan di kantor fungsional Aceh.
Konsekuensi Qanun
Dedy Sumardi, dosen Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry Aceh kepada VOA mengatakan, apa yang terjadi adalah konsekuensi aturan.
“Sebagai konsekuensi dari adanya aturan itu, bank-bank konvensional mau tidak mau harus memilih untuk “tidak lagi beroperasi di Aceh”. Karena memang sudah diatur dalam Qanun, jadi secara tidak langsung dapat dikatakan itu sebuah kewajiban untuk meninggalkan Aceh,” ujar Dedy.
Ada sejumlah hal yang harus diselesaikan dalam masa transisi ini. Dedy memberi contoh, kendala teknis terkait nasabah yang tidak beragama Islam adalah salah satunya. Dia menambahkan, dalam UU Pemerintahan Aceh yang memberi kewenangan penerapan syariat Islam, sistem keuangan adalah salah satunya. Secara otomatis, sistem perbankan dan bahkan perekonomian akan mengikuti sistem syariah.
BACA JUGA: Mahfud MD Minta Obligor BLBI Lunasi Secara Sukarela“Sengketa-sengketa terkait ekonomi syariah, di Aceh ada Mahkamah Syariah, di mana diberikan kewenangan lebih dari peradilan agama yang ada di Indonesia. Di samping memiliki wewenang seperti peradilan agama, juga mengadili di bidang jinayat atau pidana Islam, dan juga kewenangan di bidang ekonomi syariah,” tambahnya.
Dari sisi identitas keislaman orang Aceh, apa yang terjadi di sektor perbankan ini menurut Dedy adalah sebuah keuntungan. Namun, dalam praktiknya tentu ada kendala teknis yang harus segera dibenahi. Prinsipnya, sistem syariah tetap akan melindungi seluruh warga negara di Aceh, muslim maupun non-muslim. Bagaimana penerimaan masyarakat non-muslim terkait ini dalam era ke depan akan menjadi perhatian tersendiri.
Dedy sendiri selama ini sudah menjadi nasabah bank syariah. Secara pribadi dia mengaku tidak memiliki kendala dalam menikmati layanannya. [ns/ab]